Oleh: Lola Aulia
Kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Nadiem Makarim melalui Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 telah memicu gelombang protes di kalangan mahasiswa dan orang tua mahasiswa. Kebijakan ini memberikan otonomi kepada perguruan tinggi negeri (PTN) dalam menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang berujung pada kenaikan biaya pendidikan yang signifikan di berbagai kampus. Mahasiswa dari berbagai daerah, yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), menggelar aksi demonstrasi dan menghadap Komisi X DPR RI untuk menyampaikan aspirasi mereka serta menolak keras kebijakan baru ini.
Kenaikan UKT yang signifikan menjadi titik utama keresahan mahasiswa dan orang tua. Bagi banyak keluarga, pendidikan tinggi adalah investasi besar yang sering kali memerlukan pengorbanan finansial yang tidak sedikit. Kebijakan yang memberikan otonomi kepada PTN dalam menetapkan UKT tanpa adanya batasan yang jelas, berpotensi menyebabkan ketidakadilan akses pendidikan. Banyak mahasiswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah atau menengah bawah khawatir bahwa mereka tidak akan mampu melanjutkan pendidikan jika biaya kuliah naik drastis.
Reaksi keras dari mahasiswa tidak dapat dihindari. Demonstrasi di depan gedung rektorat berbagai perguruan tinggi menjadi pemandangan umum sejak kebijakan ini diumumkan. Tuntutan mereka jelas menolak kebijakan baru yang dinilai memberatkan dan meminta transparansi serta keadilan dalam penetapan UKT. Dalam orasinya, para mahasiswa menekankan bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang harus dijamin oleh negara. Mereka menuntut pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut demi terciptanya pendidikan yang inklusif dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
BEM SI, sebagai organisasi yang mewakili suara mahasiswa di seluruh Indonesia, mengambil langkah lebih lanjut dengan menghadap Komisi X DPR RI. Pertemuan ini bertujuan untuk menyampaikan langsung aspirasi dan kekhawatiran mahasiswa terkait kebijakan kenaikan UKT. Dalam pertemuan tersebut, perwakilan BEM SI menekankan bahwa kebijakan yang memberikan kebebasan kepada PTN untuk menetapkan UKT tanpa kontrol yang ketat dapat membuka celah untuk praktik yang tidak adil dan merugikan mahasiswa. Mereka meminta Komisi X untuk mendesak Kemdikbudristek agar mengevaluasi kembali kebijakan tersebut dan mencari solusi yang lebih berkeadilan.
BEM SI juga menyoroti pentingnya partisipasi mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan pendidikan. Mereka menegaskan bahwa mahasiswa harus dilibatkan dalam setiap tahap perumusan kebijakan yang berdampak langsung pada mereka. Hal ini untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan seluruh pemangku kepentingan pendidikan.
Komisi X DPR RI menerima aspirasi mahasiswa dengan serius. Mereka berjanji akan mengkaji ulang kebijakan tersebut dan mengundang berbagai pihak terkait untuk berdiskusi lebih lanjut. Selain itu, Komisi X juga berkomitmen untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil nantinya tetap berada dalam koridor keadilan sosial dan ekonomi. Langkah ini memberikan sedikit harapan bagi mahasiswa bahwa suara mereka didengar dan diperhatikan oleh para pembuat kebijakan. Kebijakan kenaikan UKT yang dikeluarkan oleh Kemdikbudristek memang memiliki tujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada PTN dalam mengelola keuangan dan meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, implementasi kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi yang timbul. Keterlibatan aktif mahasiswa dan pengawasan dari berbagai pihak sangat penting untuk memastikan bahwa tujuan mulia dari kebijakan ini tercapai tanpa mengorbankan hak dasar mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan yang terjangkau.
Aksi mahasiswa dan langkah BEM SI menghadap Komisi X DPR RI merupakan contoh nyata dari peran penting mahasiswa dalam demokrasi dan proses pengambilan kebijakan di Indonesia. Suara mereka bukan hanya sekadar protes, tetapi juga refleksi dari realitas yang dihadapi oleh banyak keluarga di Indonesia. Harapan mereka adalah agar pemerintah mendengarkan dan mempertimbangkan kembali kebijakan yang diambil demi masa depan pendidikan yang lebih baik dan adil.