Oleh: I Gusti Ayu Agung Sukma Febriantini, Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Ganesha
Generasi milenial adalah istilah yang tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Generasi milenial atau generasi Y adalah sebutan bagi orang-orang yang lahir pada tahun 1981 sampai 1996 dan berada pada rentan usia 28-43 tahun saat ini. Pada generasi ini, perkembangan teknologi mulai muncul dan masuk ke segala aspek kehidupan masyarakat. Tidak heran bahwa generasi milenial sangat bergantung pada jenis-jenis teknologi seperti whatsapp, Facebook, instagram, SMS, e-mail, tiktok, dan sebagainya. Ketergantungan dan keakraban dengan teknologi yang berkembang dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi generasi milenial. Dampak positif, generasi milenial akan memiliki pola pikir kreatif, memiliki keahlian, produktif, dan informatif. Selain itu, generasi ini mampu berlomba dan berinovasi dengan negara lain, mampu beradaptasi dengan perubahan, mandiri, dan mampu berpikir kritis. Sedangkan dampak negatifnya adalah sering bersikap konsumtif, malas, manja, mudah merasa bosan, mencari popularitas, mudah insecure (ragu terhadap diri sendiri), moral yang rendah, sulit diatur, dan lain-lain.
Karakteristik setiap orang yang berada pada kategori generasi milenial berbeda-beda karena dipengaruhi oleh lingkungan rumah, sosial, dan ekonomi. Bersikap konsumtif diartikan sebagai gaya hidup individu yang senang membeli sesuatu dengan berlebihan atau berpikir irasional dan tidak sesuai kebutuhan. Generasi milenial sangat melekat pada teknologi sehingga membuat mereka menyukai segala hal yang bersifat mudah/cepat. Adanya kemudahan ini membuat mereka menjadi sering malas dan manja dalam berusaha untuk memperoleh suatu hasil. Media sosial sering digunakan oleh generasi milenial untuk berbagai foto dan cerita pengalaman mereka. Namun, di sisi lain media sosial membuat generasi milenial terkadang merasa tidak percaya diri (insecure) sebab media sosial sering dijadikan sebagai ajang popularitas dan pembullyan tidak langsung. Inilah yang membuat generasi milenial memiliki moral yang rendah dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Generasi ini juga merupakan salah satu generasi yang sulit untuk diatur sehingga memungkinkan mereka untuk berperilaku menyimpang yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Permasalahan-permasalah tersebut perlu diatasi dengan suatu teknik/terapi konseling yang berkaitan dengan pola pikir dan perilaku generasi milenial. Konseling adalah suatu proses bantuan yang diberikan oleh tenaga profesional (konselor) kepada konseli untuk mengatasi masalah dan mencari solusi yang tepat. Teknik/terapi konseling yang sesuai untuk generasi milenial adalah teknik restrukrisasi kognitif dari pendekatan CBT (Cognitive Behavior Therapy) melalui model cyber counseling. Pendekatan CBT dengan model cyber counseling/e-counseling sangat cocok untuk merubah pola pikir dan perilaku generasi milenial yang bergantung dan melekat pada teknologi. Model cyber counseling merupakan suatu model yang digunakan oleh konselor dalam terapi konseling untuk mengatasi masalah konseli yang dilaksanakan secara virtual/online. Media yang dapat digunakan dalam model cyber counseling ini adalah e-mail, zoom metting, goggle meet, Whatsapp, SMS, web site, dan lain sebagainya. Penggunaan model ini membuat proses konseling menjadi efisien dan efektif untuk diterapkan karena dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja serta memudahkan generasi milenial untuk berpatisipasi aktif yang ahli dalam teknologi. Selain itu, teknik restrukturisasi kognitif dari CBT juga dianggap efektif dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, dimana pola pikir dan perilaku negatif dari generasi milenial dapat dirubah ke arah yang lebih positif. Munculnya perilaku negatif berawal dari pola pikir generasi milenial yang cenderung menganggap segala hal dapat dilakukan atau bergantung pada teknologi.
Restrukrisasi kognitif adalah suatu teknik yang berfokus pada perubahan-perubahan pikiran yang negatif menjadi pikiran positif. Teknik ini bertujuan untuk membujuk konseli dalam melawan segala pikiran dan emosi buruk dengan menjelaskan hal-hal yang bertentangan dengan kepercayaan konseli tentang masalah yang dihadapi. Terdapat langkah-langkah dalam penerapan teknik ini, yaitu: (1) Tujuan, konselor menjelaskan tujuan konseling, deskripsi singkat mengenai langkah yang dilaksanakan, dan penjelasan mengenai pikiran positif dan negatif; (2) Analisis pikiran konseli, setelah konseli memahami penjelasan tersebut, selanjutnya konselor menganalisis pikiran-pikiran yang ada pada konseli dalam situasi yang menegangkan; (3) Pendahuluan dan latihan coping thought, konselor dan konseli fokus pada modifikasi pikiran-pikiran yang mengganggu menjadi bentuk pikiran yang terkendali/menanggulangi (coping thought); (4) Mentransfer pikiran-pikiran negatif ke coping thought (CT), selanjutnya konseli menganalisis dan mengenali pikiran-pikiran negatif serta menerapkan pernyataan yang positif; (5) Pemahaman dan latihan reinforcement positif, konselor menjelaskan dan melatih cara memberikan reinforcement (penguatan) pada diri sendiri di setiap pencapaian yang diperoleh; dan (6) Tugas rumah dan tindak lanjut, tugas rumah dan tindak lanjut dilakukan untuk memberikan peluang kepada konseli dalam mengimplementasikan keterampilan-keterampilan yang sudah dipahami pada sitauasi nyata.
Pikiran-pikiran positif perlu ditanamkan dan dikembangkan pada setiap orang terutama generasi milenial yang cenderung ahli di bidang teknologi untuk menghindari perilaku malas, konsumtif, manja, moral yang rendah, dan sebagainya. Sebab, era teknologi dapat membawa dampak negatif bagi semua orang, jika tidak dimanfaatkan dan dipilah dengan baik. Oleh karena itu, konseling berkontribusi dalam membantu generasi milenial untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi sehingga menuju perkembangan yang optimal.