Oleh : Danur Wenda Julian Handriansyah,
Seorang anak merupakan harapan bagi kedua orang tuanya, terutama jika ia adalah anak tunggal. Namun, harapan ini tidak selalu sejalan dengan kenyataan bahwa anak tersebut bisa tumbuh berbeda dari harapan orang tua. Saat kedua orang tua mencoba mendidik anak mereka agar menjadi penurut dan seseorang yang bisa mereka banggakan, sang anak malah mungkin memilih untuk melarikan diri dari didikan tersebut dengan fokus pada gadgetnya saja, atau bermain sampai lupa waktu. Hal-hal seperti ini memang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang tua, mengingat betapa rawannya pengaruh sosial media dan pertemanan jika tidak diawasi dengan baik.
Masalahnya adalah terkadang orang tua sendiri tidak tahu cara mendidik anak yang benar dan sesuai, sehingga timbul sifat-sifat yang tidak diinginkan pada anak. Mereka tidak mau tahu mengapa anaknya sulit untuk diajari dan memilih untuk memarahi atau memberi hukuman yang terkadang tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan yang anak perbuat. Hal ini tentu tidak akan memberikan pelajaran yang diperlukan untuk mengubah perilaku seorang anak. Sebaliknya, tindakan ini memberi kesan bahwa kedua orang tua tidak benar-benar menyayangi anak mereka, sehingga sang anak bukannya menyayangi orang tua dengan tulus, melainkan merasa takut.
Bentuk hukuman yang sering dilakukan orang tua juga terkadang tidak melihat usia anak tersebut, seperti seorang anak usia 6 tahun yang dibentak karena boros menggunakan uang jajannya, yang dimana hal ini memang bukan perilaku yang baik, tetapi alangkah baiknya seorang orang tua bisa memberikan nasihat dan menunjukkan bagaimana pentingnya menjaga uang kita sendiri.
Para orang tua juga memiliki masalah dalam bagaimana mereka sendiri tidak bisa instropeksi kesalahan pribadi dan meminta maaf kepada anak-anak mereka. Secara tidak sadar, orang tua terkadang menyalurkan emosi mereka kepada anak-anak tanpa menyadari dampaknya, dan ketika tidak ada permintaan maaf atas kesalahan tersebut, hubungan antara orang tua dan anak bisa mengalami masalah dan retak. Hal ini juga memperlihatkan bagaimana banyak orang tua yang menganggap hubungan mereka dan anak-anak seperti layaknya atasan dan bawahan. Mungkin tidak sampai se ekstrem itu, tapi kita tentu bisa menyadari bagaimana orang tua hanya ingin anaknya tunduk dan menuruti segala perintah orang tua, yang seharusnya orang tua memberi bimbingan dan belajar bersama dengan anak-anak mereka bagaimana untuk bisa menjadi lebih baik kedepannya.
Masalah besar lain yang sering terlihat dalam cara orang tua mendidik anak-anaknya adalah kurangnya keterlibatan langsung dalam proses tersebut. Orang tua sering kali menyerahkan tanggung jawab pendidikan kepada guru di sekolah. Meskipun pendidikan formal oleh guru penting, namun penting juga bagi orang tua untuk turut serta dalam mendidik anak di rumah. Terutama dalam hal-hal seperti tata krama dan sopan santun, dimana orang tua memiliki peran yang krusial dalam memberikan contoh dan pengajaran. Guru tidak dapat mendampingi murid secara terus menerus, oleh karena itu, keterlibatan orang tua di rumah sangat penting untuk melengkapi pendidikan formal yang diberikan di sekolah.
Saya menyadari bagaiman cara mendidik yang tidak sesuai ini sering diperburuk dengan bagaiaman orang tua belum memiliki kesiapan secara mental untuk memenuhi peran sebagai orang tua. Mungkin mereka memiliki sumber daya finansial yang cukup untuk memberikan kehidupan yang nyaman dan pendidikan yang memadai bagi anak-anak mereka. Namun, terkadang mereka belum siap secara emosional untuk menghadapi tantangan menjadi orang tua. Mereka mungkin belum mempersiapkan diri secara mental tentang bagaimana menghadapi anak-anak yang memiliki perilaku yang tidak terduga dan ingin mengeksplorasi banyak hal baru. Mungkin mereka juga belum siap untuk menginvestasikan waktu dan energi yang dibutuhkan untuk mendidik dan merawat anak-anak dengan baik.
Kesiapan mental ini memiliki dampak besar terhadap kedekatan anak-anak dengan orang tua mereka. Anak-anak mungkin merasa kurang terhubung dengan orang tua yang tidak siap secara mental, dan mereka mungkin lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan aktivitas atau hal lain daripada berinteraksi dengan orang tua mereka.
Ketidaksiapan mental ini pula yang akan menjadi masalah dalam bagaiamana orang tua menjadi suatu role model bagi anak dan bagaimana anak tersebut memiliki rasa empati terhadap orang lain. Ketika seorang anak melihat bahwa orang tua mereka kurang peduli terhadap kebutuhan dan perasaannya sendiri, itu dapat memberikan contoh yang buruk bagi anak tentang bagaimana berperilaku terhadap orang lain. Jika seorang anak tidak merasa didukung atau dipedulikan oleh orang tuanya, ia mungkin tidak melihat pentingnya peduli terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain. Anak mungkin meniru perilaku yang mereka lihat dari orang tua mereka, termasuk kurangnya empati dan perhatian terhadap orang lain.
Hal semacam ini menimbulkan pertanyaan bagi saya sebagai seorang anak yang belum menjadi orang tua: Apa yang sebenarnya orang-orang ingin anaknya lihat dari mereka? Apakah mereka ingin anak-anak mereka melihat mereka sebagai orang yang tulus dan penuh kasih sayang, atau sebagai seseorang yang hanya memarahi dan tidak memperdulikan dirinya?
Anak-anak bukanlah objek yang hanya membutuhkan pendidikan formal atau sekadar dimarahi untuk menyadari dan belajar dari kesalahan mereka. Mereka adalah harapan dari kalian, para orang tua, yang harus diberikan kasih sayang dan pengertian agar memahami pentingnya kedua hal tersebut dalam masyarakat. Ini bukan berarti kalian tidak boleh memarahi anak-anak kalian, tetapi ingatlah untuk juga memberi kasih sayang.
Informasi Penulis :
Nama : Danur Wenda Julian Handriansyah
Umur : 18 tahun
Sosial media : @danurwenda_ (Instagram)
Asal : Karanganyar, Jawa Tengah