Oleh: Moh Saqif Alaix Asrori
Pada 14 februari 2024 mendatang, masyarakat Indonesia akan diramaikan dengan adanya pesta demokrasi Pemilu (Pemilihan Umum) 2024. Pemilu pada kali ini akan di gelar serentak menentukan presiden dan wakil presiden beserta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tentunya, situasi dan kondisi Indonesia sedang sangat sensitif, terkait politik menjelang pemilu yang akan menuntun bagaimana nasib bangsa selama 5 tahun ke depan. Politik kali ini sangat panas jadi jangan sampai salah kata ataupun tingkahlaku saja bisa membuat keadaan menjadi rumit. Sebagai masyarakat Indonesia wajib ikut berpartisipasi dalam menjadi salah satu penutu kemajuan bangsa dengan memilih pengganti harus benar benar selektif dari hati Nurani, bukan karena ada politik money sehingga rela mengorbankan keberadaan suatu bangsa kedepannya.
Semakin dekatnya dengan pemilu 2024 semakin banyak pula politik praktis tersebar dimana-mana. Politik praktis juga bermunculan di suatu perguruan tinggi yang hakikatnya harus steril dari yang namanya politik praktis. Karena akan ada pembelahan masyarakat kampus sesuai kepentingan dari setiap belah pihak yang mengusung dan adanya mencederai suatu keabsahan suatu perguruan tunggi.
Universitas harus mengutamakan kegiatan Tri-Dharmanya, yaitu. penelitian, pengajaran atau pengabdian kepada masyarakat sehingga mampu menciptakan pehaman yang lurus sesuai hati mereka. Dalam pelaksanaan Tri Dharma, perguruan tinggi harus melaksanakan kegiatan ilmiah dan karya akademik serta hasil pemikiran yang dapat dimanfaatkan dan dinikmati masyarakat. Pendapat dan arahan moral untuk pemerintahan yang baik dan kesejahteraan rakyatlah yang mereka harapkan. Tidak ada dukungan, seperti dalam politik. Arahan perguruan tinggi tetap dibutuhkan karena pemikiran obyektif untuk bangsa dalam proses politik yang sedang berjalan juga senantiasa ditunggu. Inilah sesungguhnya gerakan politik ala kampus. Bukan politik praktis, melainkan politik-politik yang bermoral ke bangsaan dan politik ilmiah. Perguruan tinggi masih dianggap relatif sebagai suatu institusi dalam negara yang mempunyai otoritas. Dan juga masih dianggap obyektif karena di dalamnya mempunyai tokoh-tokoh ilmuwan yang negarawan. Sehingga sangatlah wajar apabila lowongan untuk jabatan-jabatan penting dalam suatu negara dan bahkan mempunyai tempat atau porsi khusus untuk di tempati kalangan akademisi perguruan tinggi.
Jadi, jika universitas terlalu terlibat dalam politik praktis, mereka khawatir independensinya akan dirusak, kepercayaan warga terhadap universitas akan turun, dan nilai universitas akan terancam. Jika yang didukung perguruan tinggi melakukan tindakan yang melanggar hukum negara contohnya korupsi, ingkar janji, dan menyalah gunakan kewenangan selama menjadi pejabat pemerintah. Maka akan terjadi pencemaran kampus karena sudah mendukung palson yang memimiliki masalah di dalam ke pemerintahannya. Akademisi bukan tidak boleh ikut dalam serangkaian pesta demokrasi ini melainkan harus memahami mana waktunya berpolitik praktis dan dimana waktunya menjadi akademisi. Karena melihat realita yang sudah ada. Banyak mahasiswa yang ikut berpolitik dalam suatu perguruan tinggi. Dengan cara meng embel-embel setiap mahasiswanya supaya menjadi suatu pemahaman maka perguruan tinggi itu akan terseret dalam potrek politik praktis.
Walaupun perguruan tinggi harus steril dari politik praktis, tetapi perguruan tinggi tetap punya tanggungjawab juga untuk pendidikan politik rakyat (civic education). Perguruan tinggi justru harus menjadi teladan dan bagian terdepan dalam mendidik masyarakat melek politik, Selain itu, kampus juga harus menjadi pengawal jalan demokratisasi, agar tidak menyimpang dari tujuan sebenarnya, yaitu terwujudnya hak penuh rakyat untuk menentukan nasib sendiri, guna mencapai kesejahteraan sosial yang sebesar-besarnya. kesejahteraan. Selain itu, perguruan tinggi bahkan harus memantau teknologi proses demokratisasi ini, misalnya melalui pemantauan pemilu oleh Forum Rektor. Populasi kampus harus menjadi contoh demokrasi. Staf kampus harus menjadi contoh ideal tentang bagaimana berperilaku etis di acara politik. Begitu pula dengan peneliti yang melamar karena masuk dalam Daftar Kandidat Tetap (DCT) harus dicermati publik. Jadi berhati-hatilah dengan apa yang Anda lakukan dan bersikap, jangan hanya menggunakan kampus untuk alasan praktis.