Oleh: Tri Esa Putra
Proses pembangunan ekonomi global pada abad 21 secara mendasar membutuhkan kapasitas pemerintah untuk mengukur, meregulasi dan mengatur sumber daya alam dan masyarakat. Berbagai persoalan yang timbul akibat pembangunan ekonomi menyebabkan perlunya pemikiran ulang terhadap implementasi pembangunan saat ini. Persoalan perubahan iklim karena polusi yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan ekonomi; persoalan kesenjangan antara kaya dan miskin dalam konteks global maupun nasional yang menimbulkan ketegangan, konflik, dan keprihatinan terhadap adanya ketergantungan pembangunan pada sumber daya alam yang terbatas, khususnya minyak bumi; telah memotivasi pengembangan pendekatan hijau (green approach) dalam pembangunan ekonomi. Di samping itu, keterbatasan sumber daya di planet bumi memerlukan pengelolaan yang bijak dan adil (Cato, 2009).
Paradigma pembangunan ekonomi baru yang diperkenalkan sebagai ekonomi hijau diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia tanpa mengakibatkan dampak lingkungan, kelangkaan ekologi maupun kesenjangan sosial. Berbagai krisis, seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, bahan bakar minyak, pangan, air bersih dan krisis keuangan yang mempengaruhi seluruh sistem ekonomi global telah mendorong dan mempercepat kristalisasi paradigma pembangunan ekonomi baru. Meskipun penyebab dari krisis beragam, secara mendasar memiliki kesamaan yaitu mis-alokasi kapital, dimana hanya sebagian kecil kapital yang diinvestasikan pada: energi terbarukan, efisiensi energi, transportasi publik, pertanian berkelanjutan, perlindungan ekosistem dan keanekaragaman hayati,dan konservasi tanah dan air. Pembangunan ekonomi dan strategi pertumbuhan mendorong akumulasi modal fisik, finansial dan manusia, namun mengorbankan modal alam termasuk ekosistem dan sumber daya alam.
Jika kita maknai lebih mendalam ekonomi hijau sejalan dengan falsafah yang ada di Bali yakni Tri Hita Karana. Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputu hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekeliling, dan hubungan dengan Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan mengekang daripada segala tindakan berakses buruk. Hidupnya akan seimbang, tentram, dan damai. Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan perlu terjalin secara harmonis, bilamana keharmonisan tersebut dirusak oleh tangan-tangan yang jahil, bukan mustahil alam akan murka dan memusuhinya. Jangan salahkan bilamana terjadi musibah, kalau ulah manusia suka merusak alam lingkungan. Tidak disadari bahwa alam lingkungan telah memberikan kebebasan.
Dari maksud penjelasan mengenai Tri Hita Karana di atas, dalam konteks pembangunan ekonomi global, hendaknya memperhatikan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekelilingnya. Artinya dalam proses pembangunan ekonomi disuatu wilayah wajib hukumnya memperhatikan keadaan alam sekitar. Sehingga ekonomi yang maju tidak menyebabkan kerusakan alam yang mengakibatkan hal-hal yang lebih buruk lagi. Jika keharmonisan hubungan manusia dengan alam sekelilingnya terjaga, dalam kesejahteraan umat manusia akan terjaga pula sejalan dengan pembangunan ekonomi hijau yang dikembangkan di suatu wilayah.