Jejak Hukum Perundungan: Dari Kenakalan Sosial ke Tindakan Pidana

Oleh : Fitri Noviana, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,Fakultas Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta

Siapa yang menyangka bahwa ejekan dan dorongan di sekolah bisa berujung pada masalah hukum?

Perundungan, yang dulu sering dianggap kenakalan biasa antar teman, kini telah berubah menjadi masalah serius yang mengancam kesehatan mental dan fisik korban. Fenomena ini melibatkan tindakan menyakiti orang lain, baik melalui kekerasan fisik, kata-kata menyakitkan, maupun serangan di dunia maya (perundungan siber).

Memahami Perundungan dan Dampaknya

“Cuma bercanda”, sering menjadi alasan para pelaku perundungan. Namun, apa yang mereka anggap lelucon, bagi korban, bisa meninggalkan luka yang mendalam. Pengalaman di sekolah menunjukkan berbagai bentuk perundungan, mulai dari pemukulan di toilet hingga penyebaran foto memalukan di grup WhatsApp kelas.

Penelitian Tim Psikologi Universitas Indonesia (2023) menemukan bahwa 68% korban perundungan mengalami gangguan kecemasan, dan 45% di antaranya menunjukkan gejala depresi. Terlebih lagi, perundungan siber meninggalkan jejak digital yang sulit dihapus, dengan potensi menyebar lebih luas dan terus menghantui korban.

Salah satu contoh nyata adalah kasus yang dialami aktris Shenina Cinnamon, yang pernah menjadi sasaran penghinaan fisik (body-shaming) di media sosial. Komentar seperti, “@syif**: Aurora maghrib”, dan @elr*** & @love.**: Ini mah gosong, bukan kuning lagi”, menyudutkan Shenina hanya karena warna kulitnya. Meski demikian, Shenina dengan tegas menyampaikan bahwa setiap warna kulit itu indah, mendorong kita untuk mencintai diri sendiri apa adanya.

Langkah Hukum Mengatasi Perundungan 

Indonesia sebenarnya memiliki perangkat hukum yang dapat digunakan untuk menindak pelaku perundungan, antara lain: 

1.              Merujuk pada ketentuan UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya yang tercantum pada Pasal 76C, kekerasan apa pun terhadap anak adalah ilegal.

2.              Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur sanksi terhadap perundungan siber. 

3.              Pasal 351 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan kekuatan hukum kepada pelaku kekerasan fisik.

Namun, penanganan kasus perundungan yang melibatkan anak di bawah umur membutuhkan pendekatan berbeda. Sistem Peradilan Pidana Anak lebih mengutamakan rehabilitasi untuk memberikan pelaku kesempatan memperbaiki diri.

Potret Nyata Perundungan di Dunia Pendidikan 

Beberapa kasus perundungan di dunia pendidikan menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Di BINUS School awal tahun 2024, seorang siswa kelas 8 menderita cedera serius akibat pemukulan oleh sekelompok teman sekelas. Meski kasus ini berakhir di kantor polisi, proses mediasi menjadi pilihan utama mengingat usia pelaku. 

Tragedi yang lebih tragis terjadi di Universitas Diponegoro pada Agustus 2024, ketika seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis mengakhiri hidupnya setelah mengalami tekanan dan intimidasi senior. Salah satu rekan korban menyebut, “Tekanan dan intimidasi sudah jadi rahasia umum, tapi tidak ada yang berani bicara.” 

Mengapa Pencegahan Perundungan Masih Gagal? 

Ada beberapa kendala utama yang menyebabkan pencegahan perundungan belum maksimal: 

1.         Batasan yang kabur antara kenakalan biasa dan perundungan. 

2.         Ketakutan korban untuk melapor karena khawatir dianggap lemah, dibalas pelaku, atau bahkan diintimidasi lebih lanjut. 

3.         Pandangan orang tua dan guru yang masih menganggap perundungan sebagai bagian dari proses pendewasaan. 

Padahal, Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 82 Tahun 2015 telah memberikan panduan pencegahan kekerasan di sekolah. Sayangnya, banyak institusi pendidikan belum menerapkan prosedur yang jelas berdasarkan aturan ini.

Jalan ke Depan 

Perundungan bukan sekadar masalah individu, tetapi tanggung jawab bersama. Diperlukan langkah konkret seperti: 

1.              Membentuk tim antipenyimpangan di setiap institusi pendidikan. 

2.              Mengadakan pelatihan penanganan perundungan untuk guru dan dosen. 

3.              Membangun sistem pelaporan yang aman dan dapat diandalkan

4.              Menggunakan psikolog untuk membantu korban dan pelaku

Saatnya kita berhenti menormalisasi perundungan. Mari bertindak sebagai agen perubahan demi menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan mendukung pertumbuhan semua individu. Kita semua punya peran dalam menghentikan perundungan!.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *