Oleh : Nazhif Ali Murtadho, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi dan Kebijakan Hukum Pidana (CACCP)
Pembuka artikel kali ini, penulis mengangkat suatu adagium atau old maxim berbunyi “vox audita perit, littera scripta manet.” Secara pemaknaan bahwa “vox audita perit” sesuatu yang terdengar itu akan segera hilang, sedangkan “littera scripta manet” akan tetapi apa yang tertulis itu tidak akan pernah hilang. Artinya segala apapun yang tertulis itu akan tetap tinggal, dan ketika orang akan membacanya akan terpatri di dalam hati sanubari, di dalam pikirannya, dan akan diambil manfaat, faedah, dari apa yang dibacakannya.
Hukum yang sekarang berlaku di Indonesia saat ini masuk ke dalam fase Hukum Modern. Dalam fase hukum modern, hukum itu bersifat netral namun sayangnya kenetralan hukum itu tidak bisa menjamin “bahwa yang menang adalah yang benar dan yang kalah adalah yang salah.” Mengapa demikian? Karena law is the art of interpretation artinya hukum itu seni berinterpretasi.
Dari penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pertengahan tahun 2002 dapat diperoleh pengertian mafia peradilan: “Mafia peradilan merupakan korupsi yang sistematik yang melibatkan seluruh pelaku yang berhubungan atau berkaitan dengan lembaga peradilan mulai dari polisi, jaksa, advokat, panitera, hakim sampai petugas di lembaga pemasyarakatan.”
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya praktik mafia peradilan, yaitu karena watak dari institusi penegak hukum yang korup dan sudah mendarah daging, dan lemahnya pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam produk hukum pidana di Indonesia. Terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kita jarang melihat putusan-putusan pengadilan yang mengacu kepada penghormatan atas hak asasi manusia, baik itu hak hidup, kebebasan dan perlindungan atas harta benda.
Di dalam studi analisis ekonomi terhadap kinerja aparat penegak hukum, aparat penegak hukum itu dikategorikan sebagai “profit maximizér” artinya pengganda keuntungan yang luar biasa. Mengapa demikian, karena yang tahu persis bagaimana aparat hukum bekerja adalah mereka sendiri. Maka dari itu, masih di dalam studi analisis ekonomi terhadap kinerja aparat penegak hukum, terkadang aparat penegak hukum itu menggunakan hukum sebagai senjata untuk melakukan atau sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Ini yang kemudian kita kenal dengan istilah “law as a tool of crime” artinya perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya adalah kejahatan yang sempurna, sulit dilacak. Karena diselubungi oleh hukum dan berada di dalam hukum itu sendiri. Dan hal itu yang kemudian menjadi sorotan bagi kita bersama dan terutama adalah mereka yang bertugas untuk mengadili dan memutus perkara.
Karena di dalam studi analisis ekonomi terhadap kinerja aparat penegak hukum, yang salah satunya adalah hakim. Hakim itu “untouchable” kalau dia (hakim) mau melakukan kejahatan dengan menggunakan palu hakimnya, maka bisa saja itu tidak akan tersentuh. Karena atas nama hukum itu sendiri dia kemudian mencoba mencari dasar-dasar pembenaran, baik untuk menghukum pelaku maupun untuk membebaskan pelaku.
Oleh karena itu sebenarnya kalau kita merujuk pada hukum positif yang ada, kalau membaca dengan seksama Pasal 183 KUHAP itu sebetulnya adalah larangan, bukan suatu kewajiban. Karena dalam Pasal 183 KUHAP itu mengatakan bahwa “hakim tidak boleh” maka kata “tidak boleh” itu berarti sifatnya larangan, “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali…” jadi asal hukumnya itu larangan lalu diberi klausula exceptional “kecuali berdasarkan minimum dua alat bukti, telah menimbulkan keyakinan bagi hakim bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana itu.” Mengapa demikian? Karena yang dipakai oleh hakim di seluruh dunia itu memiliki Postulat “lebih baik seorang Hakim tidak menghukum orang yang bersalah, daripada dia menghukum orang yang tidak bersalah”. Mengapa demikian? Sebab, kalau hakim tidak menghukum orang yang bersalah maka dia (yang bersalah) tidak akan lepas dari siksaan di akhirat kelak. Sebaliknya, apabila Hakim menghukum orang yang tidak bersalah maka hakim akan menanggung dosanya sendiri dan dosa orang yang tidak bersalah. Hal ini berkaitan juga dengan postulat “In Dubeo Pro Reo” yang artinya jika terdapat keragu-raguan maka harus dipilih ketentuan atau penjelasan yang paling menguntungkan terdakwa.
Dalam konteks Peradilan Pidana, sebenarnya probabilitas hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang dihadapkan sebagai terdakwa di kursi pesakitan, sebetulnya probabilitas itu lebih banyak tidak menghukum daripada menghukum. Jadi putusan pengadilan dalam perkara pidana itu ada tiga kemungkinan, pertama, Bebas, kedua, Lepas, ketiga, Menjatuhkan Pidana. Jadi, kalau kita pakai prosentase secara matematis maka probabilitas tidak menjatuhkan adalah 66,6%. Celakanya di Indonesia kalau hakim membebaskan orang, lalu kemudian menimbulkan salah sangka, timbul berbagai analisis dan suara miring dan lain sebagainya.
Sebetulnya bagaimana cara kita mengontrol putusan pengadilan, terus terang saja susah untuk kita berharap kepada pers. Karena apa? Dalam studi kejahatan, pers ibarat pisau bermata dua, kadang-kadang dia bisa sebagai “social control”, tapi lebih banyak sebagai humasnya penjahat atau boleh dikatakan turut melahirkan apa yang kita sebut sebagai “trial by the press”. Jadi pers sudah lebih dulu menghakimi sehingga seseorang itu dihukum lebih pada opini publik bukan berdasarkan fakta yang bisa dibuktikan. Apalagi kita berbicara pada konteks pemberantasa korupsi. Negara kita adalah negara istimewa, kenapa istimewa? karena penindakan terhadap kasus korupsi itu dapat dilakukan oleh tiga lembaga, bisa oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Sebenarnya dalam “due proces of law” tidak menjadi persoalan. Namun yang menjadi persoalan apabila standarisasi institusi yang satu dengan yang lain itu berbeda, itulah yang terjadi di Negara kita.
Karena dalam “due proces of law” boleh saja penegakan hukum terhadap satu kejahatan itu dilakukan oleh lebih dari satu institusi, tetapi harap diingat tidak boleh ada perbedaan standarisasi. Kalau ada perbedaan standar maka yang terjadi adalah deskriminasi. Kalau terjadi deskriminasi pada hakikatnya terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, bagi teman-teman Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, ketika bekerja dalam kerangka dan sistem hukum acara pidana yang harus di dalam benak para Aparat Penegak Hukum (APH) bahwa Hukum Acara Pidana itu diciptakan dengan landasan bukan untuk “cepat-cepat memproses tersangka”, akan tetapi dengan landasar filosofis hukum acara itu “jangan sampai aparat penegak hukum itu bertindak dengan sewenang-wenang dengan kewenangan dengan kekuasaan yang ada pada aparat penegak hukum itu sendiri”.
Oleh karena itu, masih dalam bingkai hukum acara pidana kita tahu persis bahwa Hukum Acara Pidana itu dia mengandung sifat “Keresmian” dengan bersandar pada tiga prinsip, yaitu Hukum Aara Pidana harus Tertulis (lex scripta), Jelas (Lex Certa), dan Ketat (Lex Stricta). Kemudian apa yang terjadi kalau seandainya di dalam Hukum Acara Pidana itu terdapat suatu kekosongan atau boleh dikatakan dalam Hukum Acara Pidana itu terjadi hal yang “multi-interpretation” maka disitulah berlaku asas “exceptio firmat regulam” bahwa interpretasi atau penafsiran terhadap Hukum Acara Pidana itu sama sekali tidak boleh merugikan orang yang terperiksa, terlapor, tersangka, terpidana, maupun terdakwa. Oleh karena itu, ketika memilih profesi sebagai aparat penegak hukum harus bersifat Netral, harus bersifat tidak memihak ke kiri maupun ke kanan. Betul-betul harus “trick to the rule”.
Karena apa? Karena sudah banyak penulis yang melakukan penelitian terhadap bekerjanya sistem peradilan pidana diberbagai belahan dunia ini sudah menulis jauh-jauh hari. Kalau kita membaca bukunya Michael King dalam the framework of criminal justice system yang ditulis 40 tahun yang lalu pada tahun 1981, dalam bukunya King mengatakan bahwa salah satu nilai dalam hukum acara pidana adalah birokratik model. Di dalam birokratik model seperti Polisi, Penuntut, Hakim itu terserah dia mau memilih hal-hal yang memberatkan ataukah memilih hal-hal yang meringankan, hal itu betul-betul tergantung pada hati nurani mereka. Jadi apabila mau dibawa ke kanan atau ke kiri, itu sebetulnya lebih pada moral dan integritas dari aparat penegak hukum itu sendiri.