Oleh : Amal Maulia dan Suci Annisa, Prodi Pendidikan Vokasional Seni Kuliner, Jurusan Teknologi Industri, Fakultas Teknik Dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Ganesha
Menurut pandangan saya,Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, bukan hanya sekadar seperangkat prinsip politik, melainkan juga dapat menjadi landasan untuk membentuk karakter dan etika dalam berbagai profesi, termasuk dalam dunia kuliner. Dalam konteks ini, “Pancasila Rasa” menjadi konsep yang menggambarkan keberlanjutan dan kemajuan profesi kuliner yang memegang teguh nilai-nilai Pancasila sebagai panduan utama. Dalam era digital saat ini, kuliner mengalami perubahan yang signifikan, sehingga perlu ada pancasila rasa yang kuat untuk menjaga karakter dan etika profesional.
Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, tidak hanya menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga memiliki potensi besar untuk membentuk karakter dan etika profesi, termasuk dalam dunia kuliner. Membangun karakter dan etika profesi kuliner yang berlandaskan lima sila dasar Pancasila dapat menjadi pijakan utama dalam meningkatkan kualitas dan integritas pelaku industri kuliner di Indonesia.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” membawa makna adanya kewajiban untuk menghormati dan memahami keberagaman keyakinan dalam dunia kuliner. Dalam menciptakan hidangan, penghormatan terhadap kepercayaan agama dan keberagaman bahan baku menjadi nilai utama untuk menciptakan harmoni dan menghargai keragaman budaya. Kaitan dalam sila ini juga menjadi fondasi utama dalam membentuk karakter seorang koki atau pelaku usaha kuliner. Kesadaran akan keberadaan Tuhan sebagai sumber segala kreativitas dapat menginspirasi para pelaku kuliner untuk menjaga keaslian dan keberlanjutan budaya kuliner Indonesia. Dengan menjunjung tinggi nilai ketuhanan, mereka dapat membangun kepercayaan diri dan menghargai warisan kuliner dengan penuh rasa tanggung jawab. Ketika seorang koki memahami bahwa keterampilan kuliner yang dimilikinya adalah anugerah dari Tuhan, hal ini menciptakan rasa syukur yang mendorongnya untuk mengembangkan kreativitas dengan penuh rasa hormat terhadap bahan baku alami. Dalam hal ini, “Pancasila Rasa” bukan hanya tentang cita rasa, tetapi juga tentang menggali kearifan lokal dan keberlanjutan ekologis sebagai bentuk penghormatan terhadap Sang Pencipta.
Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” merujuk pada perlunya membentuk karakter profesi kuliner yang tidak hanya mengutamakan keahlian dalam memasak tetapi juga kesadaran akan keadilan sosial. Dalam hal ini, para koki dan pengusaha kuliner dapat berperan aktif dalam memberdayakan masyarakat lokal dan menciptakan peluang setara bagi semua pihak yang terlibat dalam industri ini. Seperti yang kita ketahui ada banyak Keberagaman budaya di Indonesia yang menciptakan kekayaan rasa dan resep-resep yang unik. Dalam profesi kuliner, ini mengajarkan para pelaku untuk menghormati dan menggali keunikan dari setiap masakan, menciptakan suasana yang inklusif dan mempromosikan keharmonisan dalam perbedaan. Kuliner harus memperlakukan pelanggan dan rekan kerja dengan adil dan beradab. Hal ini mencakup penggunaan bahasa yang sopan, menghargai perbedaan, dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” mengajarkan pentingnya kolaborasi dan solidaritas di dalam dunia kuliner. Dengan membangun jaringan yang kuat antara para pelaku industri, baik itu koki, pemilik restoran, atau petani lokal, kita dapat menciptakan ekosistem kuliner yang saling mendukung dan memperkaya satu sama lain. Dalam dunia kuliner sebagai koki/ cheef juga tentu akan ada kerjasamanya dalam menghadirkan pengalaman kuliner yang menggugah selera dan menghargai cita rasa lokal adalah langkah-langkah menuju persatuan dalam keragaman. Ini tidak hanya menciptakan harmoni dalam industri kuliner, tetapi juga memberikan kontribusi positif pada pembangunan ekonomi di tingkat lokal dan nasional. Adapaun kerja sama dalam hal ini yaitu Kerjasama yang dapat melibatkan pemanfaatan bahan baku lokal, mendukung petani lokal, dan menciptakan rantai pasok yang berkelanjutan. Dengan demikian, profesi kuliner tidak hanya menjadi ajang kreativitas, tetapi juga motor penggerak perubahan positif di tingkat sosial dan ekonomi.
Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,” mendorong partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan di dalam industri kuliner. Pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen, perlu bersama-sama merumuskan kebijakan yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan menjaga keseimbangan antara kepentingan semua pihak. Seperti halnya dalam pengambilan keputusan terkait bahan baku, teknik memasak, dan pelayanan kepada pelanggan, perwakilan dari berbagai pihak terlibat dapat menciptakan kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Perwakilan dari berbagai pihak terlibat, termasuk koki, pelayan, dan pemilik restoran, dapat menciptakan kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Ini melibatkan pemilihan bahan baku yang berkualitas, praktek-praktek memasak yang ramah lingkungan, dan pelayanan yang mengedepankan kepuasan pelanggan tanpa melupakan tanggung jawab sosial.
Sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” dapat diinterpretasikan sebagai panggilan untuk memastikan akses yang adil terhadap peluang dan manfaat dalam industri kuliner. Ini mencakup aspek seperti hak-hak pekerja, kesempatan berusaha bagi pelaku usaha kecil, dan pendekatan yang ramah lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam. Di dunia kuliner wajib bagi kita menjaga attitude atau akhlak kita karna dengan hal tersebut dapat mengajarkan para pelaku kuliner untuk selalu menjaga integritas dan moralitas dalam setiap aspek profesi mereka. Dengan memahami bahwa setiap hidangan yang disajikan bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang kejujuran, tanggung jawab sosial, dan dampak lingkungan, para pelaku kuliner dapat menciptakan dampak positif yang lebih luas dalam masyarakat.
Di dunia kuliner tidak hanya tentang menciptakan masakan yang enak tapi kita juga harus selalu menerapkan kejujuran misalnya dengan menjual produk harus menyatakan sebenarnya dan harganya yang sesuai dengan kualitas dan keberlangsungannya. Ini akan membantu menjaga rasa pelanggan dan merek kuliner. Selain itu Kuliner harus sadar tentang dampak keberlangsungan produk yang dikonsumsi oleh pelanggan. Ini mencakup penggunaan bahan-bahan yang aman dan ramah lingkungan. Dengan mendasarkan karakter dan etika profesi kuliner pada lima sila dasar Pancasila, kita dapat membentuk “Pancasila Rasa” sebagai filosofi yang menginspirasi setiap langkah di dunia kuliner. Melalui pendekatan ini, bukan hanya kelezatan hidangan yang diperjuangkan, tetapi juga kearifan lokal, keberlanjutan, dan keadilan yang menjadi landasan utama dalam mengembangkan industri kuliner Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.
Dalam menerapkan lima sila dasar ini profesi kuliner di Indonesia dapat menjadi wahana untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Melalui karakter dan etika yang terbangun di atas fondasi Pancasila, dunia kuliner dapat menjadi kekuatan penggerak perubahan positif menuju harmoni, keberagaman, dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, dengan mengadopsi lima sila dasar Pancasila ini, kuliner dapat membangun karakter dan etika profesional yang kuat, yang akan membantu mereka bertahan di pasar yang semakin kompetitif dan menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Pancasila Rasa dapat menjadi pedoman bagi para pelaku kuliner untuk membangun karakter dan etika profesional yang berlandaskan lima sila dasar Pancasila