Oleh: Kadek Nadia Julianti, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha
Memahami pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah aspek penting bagi calon guru yang ingin menciptakan kelas inklusif yang benar-benar efektif dan mendalam. Anak-anak dengan kebutuhan khusus memiliki hak yang setara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, dan keberhasilan mereka di sekolah sangat bergantung pada guru yang tidak hanya kompeten, tetapi juga sensitif terhadap kebutuhan unik mereka. Calon guru perlu dipersiapkan dengan pengetahuan mendalam mengenai berbagai karakteristik ABK, baik dalam hal fisik, sosial, emosional, maupun kognitif. Peran guru yang kompleks sebagai pembimbing, motivator, fasilitator, hingga perancang interaksi kelas adalah kunci bagi ABK untuk mampu beradaptasi dengan lingkungannya, membangun rasa percaya diri, serta mengembangkan kemampuan sosial. Dalam jurnal “Peran Guru dalam Menjembatani Keberhasilan Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus di Kelas Inklusif” (Sudharsono et al., 2024), dinyatakan bahwa guru di kelas inklusif memegang peranan penting dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi metode pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kondisi siswa ABK. Pendidikan inklusif tidak sekadar menyatukan siswa dengan kebutuhan beragam dalam satu ruang kelas. Lebih dari itu, pendidikan inklusif menuntut pendekatan yang lebih personal dan empati yang mendalam dari guru. Hal ini agar setiap siswa benar-benar bisa terlibat dan merasa dihargai. Namun, menciptakan kelas inklusif yang ideal memerlukan upaya lebih dari sekadar kemauan baik. Calon guru sering kali menghadapi tantangan seperti kurangnya pelatihan khusus, minimnya dukungan dari pihak sekolah, serta keterbatasan fasilitas. Di sisi lain, tekanan mental serta ekspektasi tinggi juga sering menjadi tantangan internal. Untuk mengatasi hal ini, dukungan dari pemerintah, kerja sama dengan pihak eksternal seperti orang tua, dan peningkatan program pelatihan bagi guru dalam pendidikan khusus perlu menjadi prioritas.
Di tengah tuntutan yang terus berkembang dalam pendidikan inklusif, calon guru yang akan mengajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) perlu lebih dari sekadar kompetensi akademik, mereka harus memiliki keterampilan pedagogik yang matang dan menyeluruh. Kemampuan ini tidak hanya memungkinkan mereka untuk menyiapkan materi, metode, dan media pembelajaran yang sesuai, tetapi juga untuk mengidentifikasi serta memenuhi kebutuhan khusus setiap anak secara personal. Pendidikan inklusif bukan hanya soal teknik atau metode, tetapi juga seni mendidik dengan hati, empati, dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan nyata di lapangan. Berdasarkan penelitian Imam Yuwono dan Dewi Ratih Rapisa, model pembelajaran berbasis proyek atau Project-Based Learning terbukti menjadi salah satu pendekatan yang efektif dalam mengasah kompetensi pedagogik mahasiswa calon guru pendidikan khusus.
Melalui metode Project-Based Learning, mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk benar-benar memahami kebutuhan spesifik dari setiap siswa ABK, melakukan penyesuaian pada rencana pembelajaran, serta merancang media pembelajaran yang relevan dan efektif. Proses ini dipecah dalam beberapa tahap utama yang mendalam, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, presentasi, hingga evaluasi. Pada tahap awal perencanaan, mahasiswa diajak terjun langsung untuk melakukan observasi, memahami karakteristik unik ABK, serta merancang pembelajaran tematik yang sesuai. Dalam tahap pelaksanaan, mahasiswa bekerja dengan cermat untuk menyusun dan menyesuaikan rencana pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap siswa ABK, bahkan sampai simulasi peran di mana mereka berlatih menjadi guru dan siswa. Latihan ini membantu mereka menjadi fleksibel, kreatif, dan siap beradaptasi dalam berbagai situasi di kelas yang inklusif. Melalui setiap tahap ini, calon guru tidak hanya belajar teori, tetapi juga praktik nyata yang membuat mereka lebih responsif dan tanggap terhadap kebutuhan anak-anak ABK. Dalam penelitian tersebut, para mahasiswa mengaku merasa lebih percaya diri saat berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus karena mereka telah melewati berbagai pengalaman langsung yang relevan dan dirancang untuk mempersiapkan mereka secara menyeluruh. Pengalaman ini juga mengajarkan mereka kerja sama dalam kelompok, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, serta melatih komunikasi yang lebih efektif. Kemampuan untuk memodifikasi rencana pembelajaran dan media pembelajaran tidak hanya menambah nilai teknis, tetapi juga memberikan persiapan mental dan emosional bagi calon guru untuk menghadapi situasi kelas yang memerlukan adaptasi dan inovasi.
Model Project-Based Learning ini pada akhirnya mampu tidak hanya meningkatkan kompetensi teknis, tetapi juga mengembangkan sikap positif calon guru terhadap keberagaman dalam pendidikan. Pemahaman dan penerimaan ini penting karena ABK memerlukan pendekatan yang khusus, penuh perhatian, dan mendalam untuk menunjang perkembangan mereka. Pengalaman dan keterampilan praktis ini diharapkan dapat mempersiapkan calon guru menjadi pendidik yang profesional, berempati, dan tanggap terhadap kebutuhan siswa berkebutuhan khusus sehingga pendidikan inklusif benar-benar bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Untuk menciptakan pendidikan inklusif yang berkelanjutan, kolaborasi antara lembaga pendidikan tinggi, sekolah, dan pemerintah menjadi sangat penting. Dukungan yang diberikan, baik berupa pelatihan berkelanjutan maupun fasilitas, akan sangat membantu para calon guru dalam mencapai kompetensi yang optimal. Dengan demikian, Project-Based Learning tidak hanya sekadar metode pembelajaran, tetapi juga menjadi jembatan bagi calon guru untuk membangun keterampilan pedagogik yang diperlukan untuk mengajar di sekolah inklusif. Oleh karena itu, calon guru harus mengasah rasa empati, kesabaran, serta keterampilan adaptasi untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung semua siswa tanpa terkecuali. Tanpa pemahaman ini, mereka akan kesulitan menerapkan pendidikan inklusif dengan efektif, dan potensi dari siswa ABK mungkin tidak tergali secara optimal.