Oleh : Riani Virginia, Mahasiswa Teknik Pertanian Universitas Jambi
“Ngapain sih perempuan sekolah tinggi? Kan ujungnya ke dapur juga”. Pernyataan ini sering kali dilontarkan oleh masyarakat awam terutama di pedesaan, ketika mendengar perempuan ingin melanjutkan pendidikannya. Padahal perempuan akan menjadi seorang ibu dan ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, perempuan harus memiliki pendidikan. Di Indonesia, masih banyak stigma yang membelenggu perempuan dalam mencapai kesetaraan gender. Stigma ini berakar dari budaya patriarki dan norma sosial, sehingga memunculkan berbagai hambatan bagi perempuan untuk meraih potensi mereka.
Kesetaraan gender merupakan suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam hak secara hukum dan kondisi atau kualitas hidupnya sama. Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi setiap manusia. Gender itulah yang menjadi pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Istilah kesetaraan gender tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Berbagai kegiatan dan aksi dalam menuntut kesetaraan juga telah marak digaungkan oleh berbagai kelompok maupun institusi sebagai upaya untuk mewujudkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Menurut KMK 807 Tahun 2018, konsep gender diartikan sebagai peran dan status yang melekat pada laki-laki dan perempuan berdasarkan kontruksi sosial budaya dan struktur yang ada di masyarakat.
Akan tetapi, sampai saat ini perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi adanya pola pikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya peran di luar itu menjadi tidak penting. Istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah diskriminasi terhadap perempuan, sub koordinasi, penindasan, perilaku tidak adil dan semacamnya.
Diskriminasi gender, menyebabkan kerentanan terhadap perempuan dan atau anak perempuan serta berpotensi pada terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, banyak bermunculan program atau kegiatan, terutama dilakukan oleh beberapa LSM, untuk memperbaiki kondisi perempuan yang biasanya berupa pelatihan tentang isu-isu gender, pembangkitan kesadaran perempuan, dan pemberdayaan perempuan dalam berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial dan politik.
Hal ini justru berbanding terbalik dengan realitas bahwa perempuan ternyata mempunyai peranan yang sangat besar dalam berbagai bidang. Sebagai salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs), kesetaraan gender menjadi indikator yang tidak bisa diabaikan, karena baik perempuan maupun laki-laki merupakan inti dari pembangunan manusia itu sendiri. Kesetaraan yang dimaksud disini adalah kesetaraan dalam hal sosial. Contohnya pekerjaan, pendidikan, berpendapat dan lain sebagainya.
Demi mendukung terwujudnya kesetaraan gender, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan dan regulasi yang mengarah pada pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) atau jalan menuju kesetaraan yang merupakan strategi pembangunan yang diimplementasikan untuk mencapai persamaan hak dan keadilan, serta meminimalisir adanya kesenjangan gender.
Meski demikian, data dalam Gender Development Index (GDI) menunjukkan bahwa kesetaraan gender di Indonesia masih belum terbentuk dengan baik. Per tahun 2021, Indonesia meraih predikat sebagai negara dengan ketimpangan gender tertinggi se-ASEAN sebesar 0,465 poin. Tahun 2023, ketimpangan gender di Indonesia mulai menurun menjadi 0,447 poin. Berdasarkan data UNDP, skor indeks ketimpangan gender di Indonesia bahkan ada di atas rata-rata dunia yang sebesar 0,436 poin. Salah satu penyebab kondisi ini adalah kesadaran masyarakat akan urgensi kesetaraan gender yang masih sangat minim.
Pengetahuan tentang kesetaraan gender sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dilingkungan pendidikan. Namun, instansi pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya menyadari hal tersebut. Kesetaraan gender sering disalah artikan, dan masih banyak yang berpendapat bahwa perempuan tidak akan pernah setara dengan laki-laki dalam hal apapun. Salah satu contoh yang sering terjadi di lingkungan sekolah adalah perdebatan mengenai kepemimpinan seorang perempuan dalam organisasi dan ekstrakulikuler. Alasan yang paling sering disebutkan adalah “Pemimpin itu harus laki-laki”. Hal ini sangat tidak sesuai dengan pengertian dari kesetaraan gender tersebut.
R.A. Kartini adalah salah satu tokoh perempuan Indonesia yang menyuarakan emansipasi wanita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), emansipasi adalah pembebasan dari perbudakan; persamaan hak dalam berbagai kehidupan masyarakat. Artinya baik laki-laki maupun perempuan jelas memiliki hak yang sama. Jadi tidak ada alasan bahwasanya perempuan tidak akan pernah setara dengan laki-laki dalam hal apapun.
Sejalan dengan emansipasi wanita, kesetaraan gender merupakan wujud nyata dari persamaan hak tersebut. Saat ini, kampanye kesetaraan gender semakin gencar dilakukan. Salah satunya melalui Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R). PIK-R merupakan salah satu wadah pengembangan diri menuju kesetaraan tersebut. Adanya PIK-R dalam institusi pendidikan sangat membantu remaja menyadari dan mengerti mengenai kesetaraan gender tersebut. Tujuannya adalah agar semakin banyak remaja putri di Indonesia yang menyadari bahwa mereka berhak mempunyai cita-cita seperti halnya remaja laki-laki.
Perempuan berhak diberikan kesempatan yang sama. Saat ini, pembuktian perempuan sebagai kartini masa kini terbukti. Tokoh perempuan Indonesia berhasil membuktikan bahwa perempuan bisa setara dengan laki-laki. Perempuan berhak memiliki pendidikan yang layak, pekerjaan yang baik dan jabatan sesuai dengan potensi yang mereka miliki.
Ada banyak sekali tokoh perempuan Indonesia yang bisa dijadikan panutan, contohnya Maudy Ayunda dan Ibu Retno Marsudi. Maudy Ayunda adalah salah satu tokoh perempuan yang luar biasa. Maudy berhasil menyelesaikan pendidikannya di dua universitas top dunia. Maudy Ayunda juga dipercaya sebagai juru bicara Presidensi G20 Indonesia, dan menjadi pembicara termuda dalam konferensi tersebut. Ibu Retno Marsudi juga merupakan tokoh perempuan luar biasa dan berkontribusi langsung untuk Indonesia. Beliau membuktikan bahwa perempuan berhak mempunyai jabatan yang layak dengan dengan kemampuan yang dimiliki. Ibu Retno menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia periode 2014 sampai sekarang. Selain itu, beliau berani menyuarakan keadilan untuk Palestina dalam sidang PBB, dihadapan tokoh-tokoh dunia.
Kontribusi nyata perempuan Indonesia membuktikan bahwa perempuan merupakan tokoh penting dalam kehidupan, baik pendidikan, sosial, ekonomi bahkan politik. Oleh karena itu, edukasi tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, baik di sekolah, komunitas, maupun melalui media massa serta melakukan kampanye untuk melawan stigma dan stereotip negatif terhadap perempuan dan mempromosikan nilai-nilai kesetaraan dan inklusi harus ditingkatkan. Kemudian memberikan perempuan akses kepada sumber daya dan peluang yang mereka butuhkan untuk mencapai potensi penuh mereka, seperti pendidikan, pelatihan, dan pendanaan usaha serta memperkuat penegakan hukum mengenai kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi gender. Membongkar stigma dan mencapai kesetaraan gender adalah proses yang panjang dan kompleks. Namun, dengan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, kita dapat menciptakan Indonesia yang lebih adil dan inklusif bagi semua orang.