Mendengar Suara Hati Generasi Sandwich melalui Konseling Humanistik sebagai Solusi Krisis Identitas Milenial

Oleh : Nyoman Andini Arivianti, Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Ganesha

Era modern telah membawa perubahan besar dalam kehidupan generasi milenial. Dalam dinamika dunia yang terus berubah, generasi milenial menghadapi tantangan baru yang kompleks dan penuh tantangan. Mereka dituntut untuk meraih kesuksesan dan mencapai kemandirian finansial. Mereka juga terikat dengan tanggung jawab yang besar untuk mengurus orang tua yang semakin menua dan mendukung anak-anak yang masih kecil. Mereka juga dihadapkan pada perkembangan teknologi yang pesat dan perubahan sosial yang cepat, sehingga milenial harus menyeimbangkan karier, keluarga, dan kebutuhan pribadi. Fenomena inilah yang melahirkan istilah “generasi sandwich”, di mana generasi milenial terjebak di antara dua generasi yang membutuhkan perhatian dan dukungan. Beban ganda ini semakin diperparah dengan kondisi ekonomi yang serba sulit, harga kebutuhan pokok yang terus meningkat, dan minimnya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Akibatnya, banyak generasi milenial harus bekerja lembur dan merelakan waktu pribadi mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini berdampak pada kesehatan mental dan fisik mereka, yang menyebabkan mudah untuk merasa stres, cemas, depresi, dan kesuliatan fokus pada diri sendiri dan tujuan hidup mereka.

Beban emosional yang kompleks ini sering kali membuat generasi sandwich menghadapi krisis identitas yang mempengaruhi kesejahteraan mental mereka. Krisis ini bukan hanya tentang kebingungan dalam menentukan tujuan hidup, tetapi juga tentang perasaan terbebani dan kehilangan jati diri. Generasi milenial tumbuh di era yang penuh dengan perubahan dan ketidakpastian. Mereka yang lahir pada era 1980-an hingga 1990-an ini, sering dihadapkan pada ekspektasi tinggi untuk mencapai kesuksesan finansial dan profesional, namun di saat yang sama mereka juga merasa terikat dengan tanggung jawab keluarga yang besar. Milenial sering dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam hal karier, gaya hidup, dan hubungan, sambil mencoba membangun identitas mereka sendiri di dunia yang terus berubah dengan cepat. Dorongan untuk memenuhi ekspektasi masyarakat dan harapan pribadi sering kali bertentangan, meninggalkan banyak milenial merasa tidak pasti tentang arah mereka dan apa yang benar-benar penting dalam kehidupan mereka. Di sinilah konseling humanistik hadir sebagai solusi untuk membantu mereka menemukan kembali jati diri dan mencapai kebahagiaan.

Konseling humanistik, dengan pendekatan yang berfokus pada pemahaman diri dan pengembangan potensi pribadi, menawarkan solusi yang relevan dan efektif untuk mengatasi krisis identitas ini. Teknik konseling humanistik menempatkan individu sebagai pusat dari proses terapi, mendorong mereka untuk mengeksplorasi perasaan, pikiran, dan pengalaman mereka dengan cara yang jujur dan penuh perhatian terhadap diri sendiri. Pendekatan ini sangat berguna bagi generasi sandwich, yang sering kali merasa terjebak dalam peran ganda dan menghadapi dilema emosional yang kompleks. Pendekatan ini membantu individu untuk lebih mengenal diri, membangun kepercayaan diri, dan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai pribadi dan tujuan hidup. Sehingga dalam kaitannya dengan generasi sandwich, konseling humanistik dapat memberikan wadah yang aman dan mendukung bagi mereka untuk mengungkapkan perasaan, kekhawatiran, dan kebingungan yang mungkin mereka rasakan.

Konseling humanistik juga mengakui bahwa setiap individu memiliki kapasitas untuk pertumbuhan dan perubahan. Melalui teknik konseling humanistik seperti terapi Gestalt, terapi eksistensial, dan terapi client centered, konselor dapat membantu generasi sandwich untuk mengidentifikasi dan mengatasi konflik internal mereka. Salah satu aspek penting dari konseling humanistik adalah penerimaan tanpa syarat. Di mana generasi sandwich sering kali mengalami perasaan bersalah atau ketidakmampuan untuk memenuhi harapan yang diberikan oleh orang tua dan anak-anak mereka. Dalam konseling humanistik ini, konselor dapat menciptakan ruang yang aman bagi generasi sandwich untuk merasakan bahwa mereka diterima sebagaimana adanya, tanpa penilaian atau kritik. Sehingga, hal ini memungkinkan mereka untuk mengungkapkan perasaan yang terpendam dan mengeksplorasi identitas mereka tanpa rasa takut atau kekhawatiran.

Selain itu, konseling humanistik juga menekankan pada pentingnya pengembangan kepercayaan diri dan kemandirian. Generasi sandwich sering kali merasa terjebak karena harus menjalankan peran sebagai penyokong bagi dua generasi yang berbedai. Mereka mungkin merasa kebingungan dan sulit untuk menentukan batasan yang tepat dalam kehidupan mereka. Dalam konseling humanistik, generasi sandwich didorong untuk lebih memahami mengenai kebutuhan dan keinginan mereka sendiri. Proses ini melibatkan  pengeksplorasian nilai-nilai pribadi, mengidentifikasi tujuan hidup yang sesuai dengan diri mereka, dan menetapkan batasan yang sehat dalam interaksi dengan orang-orang disekitar mereka.

Mendengarkan suara hati adalah inti dari pendekatan konseling humanistik dalam membantu generasi sandwich mengatasi krisis identitas. Mereka terlalu sering mengabaikan kebutuhan dan keinginan mereka sendiri demi memenuhi harapan dan tuntutan orang lain. Dalam konseling humanistik, generasi sandwich didorong untuk menghargai dan mendengarkan suara hati mereka sendiri. Mereka diajak untuk menjelajahi nilai-nilai pribadi, minat, dan impian yang mungkin telah terabaikan selama ini. Dengan memahami diri lebih dalam, generasi sandwich dapat membangun kembali identitas mereka dan menemukan kebahagiaan dalam hidup mereka. Mereka dapat belajar mengenai cara mengelola stres, meningkatkan kepercayaan diri, dan mengembangkan keterampilan interpersonal yang sehat. Selain itu, mereka akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pola pikir dan emosi yang mungkin mempengaruhi kesejahteraan mental mereka. Dengan bekerja sama dengan konselor, generasi sandwich dapat membangun fondasi yang kuat untuk mengatasi krisis identitas mereka dan hidup yang lebih bermakna.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *