Oleh: Ni Ketut Okta Mariyanti dan Ni Luh Gek Dewi Paramitha Asih, Mahasiswa Semester 1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha
Pendidikan adalah fondasi utama dalam membentuk karakter dan kepribadian generasi muda, sekaligus menjadi kunci untuk mengembangkan masyarakat yang inklusif dan beradab. Pada era Kurikulum Merdeka, suatu langkah progresif di dunia pendidikan di Indonesia, inovasi pendekatan pembelajaran menjadi fokus utama. Salah satu dimensi yang perlu mendapat perhatian adalah pengintegrasian ilmu antropologi dalam kurikulum. Antropologi, sebagai studi tentang manusia dan kebudayaan, memiliki potensi besar untuk melibatkan siswa dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan budaya, memupuk rasa toleransi, dan membangun wawasan kritis yang mendalam.
Pendidikan seharusnya dapat membebaskan siswa dari segala hal yang mengekang hidupnya, membebaskan dari belenggu penindasan, dan hal-hal merugikan yang bersumber dari ketidaktahuan. Berpikir kritis di sini artinya menggunakan nalar, berpikir secara sistematis dan rasional untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara objektif dan faktual dan sebisa mungkin menekan bias pendapat (Robert Ennis). Budaya berpikir kritis secara tidak langsung akan membentuk karakter individu yang bertanggung-jawab dan objektif serta menumbuhkan sensitivitas dan humanisme karena terbiasa mengunakan rasionalitas dalam bertindak.
Pertama-tama, perlu diakui bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya. Dari Sabang sampai Merauke, pulau-pulau dan suku bangsa yang berbeda membentuk mozaik kultural yang begitu indah dan kompleks. Integrasi antropologi dalam kurikulum dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan siswa dengan akar budaya mereka sendiri, sambil juga membuka mata terhadap keragaman luar biasa yang ada di sekitar mereka. Sejak dini, anak-anak dapat diperkenalkan pada konsep-konsep seperti etnosentrisme, relativisme budaya, dan konsep-konsep antropologi lainnya yang akan membantu mereka memahami bahwa tidak ada satu cara hidup yang benar atau salah.
Sikap kritis terhadap keanekaragaman dan perubahan kebudayaan harus dimulai dengan menghormati dan menghargai keanekaragaman budaya yang ada. Hal ini akan membantu kita memahami dan menghargai kebudayaan orang lain. Kita juga harus mencari cara untuk mengurangi pengaruh yang merugikan dan memastikan bahwa keanekaragaman budaya dihargai dan dihormati. Dari sini, kita dapat bergerak ke cara yang lebih konstruktif untuk memanfaatkan keanekaragaman budaya. Ketika menghadapi perubahan budaya, kita juga harus berusaha untuk mengidentifikasi dan memahami bagaimana perubahan tersebut akan memengaruhi masyarakat. Kita harus berusaha untuk mengidentifikasi bagaimana perubahan budaya dapat memengaruhi hak-hak masyarakat, keadilan sosial, dan juga cara masyarakat mengekspresikan budaya mereka. Hal ini penting untuk memastikan bahwa perubahan budaya tidak merugikan masyarakat.
Dalam konteks ini, pengenalan konsep antropologi dalam Kurikulum Merdeka dapat memainkan peran penting dalam mengatasi tantangan polarisasi dan intoleransi di masyarakat. Dengan memahami bahwa setiap budaya memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda, siswa dapat mengembangkan empati dan rasa penghargaan terhadap keragaman. Ini juga dapat membantu meruntuhkan stereotip dan prasangka yang sering kali muncul karena ketidakpahaman terhadap budaya yang berbeda. Oleh karena itu, melibatkan antropologi dalam pendidikan dapat memberikan landasan untuk menciptakan generasi yang mampu hidup berdampingan dengan damai dalam masyarakat yang multikultural.
Selain itu, integrasi antropologi dalam Kurikulum Merdeka dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan keterampilan kritis dan analitis siswa. Studi antropologi mengajarkan kita untuk memahami konteks budaya suatu fenomena, menganalisis struktur sosial, dan melihat dampak interaksi budaya terhadap individu dan kelompok. Oleh karena itu, memasukkan mata pelajaran antropologi dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan logis, yang menjadi keterampilan inti dalam menghadapi tantangan kompleks di era globalisasi.
Selain itu, studi antropologi juga dapat memperkaya keterampilan berkomunikasi siswa. Pemahaman mendalam tentang budaya dan kerangka berpikir antropologi dapat membantu siswa berkomunikasi dengan lebih efektif di tengah masyarakat yang beragam. Mereka akan mampu berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda dengan rasa saling menghormati, karena mereka telah dilatih untuk memahami perspektif orang lain. Keterampilan komunikasi ini tidak hanya penting dalam konteks domestik, tetapi juga membekali siswa dengan keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam dunia global yang semakin terhubung.
Namun, perlu diingat bahwa integrasi antropologi dalam kurikulum tidak hanya tentang menyajikan materi pelajaran, tetapi juga melibatkan pendekatan pembelajaran yang inovatif. Metode yang menekankan pada pengalaman langsung, seperti kunjungan ke tempat-tempat bersejarah, interaksi dengan komunitas lokal, atau kegiatan proyek berbasis budaya, dapat membantu siswa mengalami keberagaman budaya secara langsung. Pengalaman ini tidak hanya akan meningkatkan daya serap materi, tetapi juga membantu siswa mengembangkan sikap keterbukaan dan rasa ingin tahu terhadap dunia di sekitar mereka.
Dalam kesimpulan, integrasi antropologi dalam Kurikulum Merdeka dapat menjadi langkah yang tepat menuju pendidikan yang lebih holistik dan relevan. Dengan memberikan siswa pemahaman yang mendalam tentang keberagaman budaya, mengembangkan keterampilan kritis dan analitis, serta memperkaya kemampuan komunikasi mereka, pendekatan ini tidak hanya akan membentuk individu yang lebih baik, tetapi juga masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan yang kuat dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga pendidikan, maupun masyarakat, untuk mewujudkan visi pendidikan yang berbasis pada keberagaman budaya dan peningkatan kapasitas diri secara menyeluruh.