PEMAHAMAN KODE ETIK DAN KEPRIBADIAN KONSELOR DALAM MEMBENTUK SEORANG KONSELOR PROFESIONAL YANG BAIK DAN BERHASIL

Oleh : Sifa Putri Awalinda, Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Ganesha

Secara etimologi etika memiliki arti sebagai ilmu tentang moral, akhlak, dan tingkah laku dari manusia. Dalam bimbingan dan konseling seorang konselor harus memiliki etika dan kepribadian yang baik, etika konselor sudah terdapat dalam kode etik konselor. Penekanan kode etik ini bersifat lebih khususd dari etika yaitu merupakan norma atau aturan susila, nilai, moral, sikap, atau akhlak yang disepakati dan harus ditaati bersama oleh setiap anggota dalam suatu organisasi. Konselor merupakan suatu profesi yang juga memiliki seperangkat aturan, norma, dan nilai yang harus ditaati yang sudah tersusun dalam kode etik nya. Kode etik konselor ini merupakan suatu landasan moral, sistem norma, nilai dan pedoman tingkah laku profesional yang mendasari perilaku anggota profesi dalam menjalankan tugas keprofesionalannya yang harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan oleh setiap anggota profesi bimbingan dan konseling di Indonesia. Penyusunan kode etik konseling di Indonesia ini tentunya memiliki tujuan, yaitu untuk memberikan panduan sikap atau perilaku yang berkarakter dan profesional bagi anggota dalam memberikan sebuah layanan, membantu dalam memberikan layanan yang profesional, mendukung visi dan misi organisasi profesinya, menjadi landasan dalam menyelesaikan masalah yang datang dari sesame anggota profesinya, melindungi konselor dari konseli, juga bisa meningkatkan akuntabilitas dan integritas organisasi profesi konselor. Kepribadian dan perilaku konselor merupakan unsur penting dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling, Holik (2016) mengatakan bahwa pengetahuan dan keterampilan dalam konseling saja tidak cukup dalam memberikan bantuan tanpa di dukung oleh kepribadian dan etika konselor yang baik. Ada beberapa sikap atau perilaku yang harus dimiliki oleh konselor, yaitu dapat menciptakan hubungan dan suasana yang kondusif dalam memberikan layanan konseling, dapat bersikap objektif kepada konseli, mampu menggali faktor penyebab dari masalah psikologis yang dialami oleh konseli, mampu menentukan kerangka referensi atau perangkat kognitif yang dapat dipahami konseli untuk memecahkan masalahnya, seorang konselor juga harus memiliki strategi untuk mengubah keyakinan konseli yang tidak rasional atau gangguan emosi yang menyalahkan dirinya sendiri, konselor dapat memberikan pemahaman tentang perilaku baru yang diperlukan konseli dalam kehidupan kesehariannya, konselor mampu menjadi contoh atau model yang memiliki sikap atau perilaku yang sehat dan normal, mampu menyadari kesalahan yang pernah dilakukan serta resiko yang akan dihadapi, konselor harus mampu menjaga kerahasiaan dan harus dapat dipercaya oleh konselinya, serta ikhlas dalam menjalankan profesinya.

Kode etik bimbingan dan konseling di Indonesia disusun oleh ABKIN dan dituangkan dalam SK no: 009/S K/ PBABKIN/VIII/2018. Kode etik tersebut memuat yang pertama tentang kualifikasi dan kompetensi konselor yang mencakup nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang bimbingan dan konseling, adanya pengakuan atau legitimasi kemampuan dan kewenangannya sebagai seorang konselor, kedua memuat kegiatan profesional yang mencakup praktek pelayanan konseling secara umum, praktek pada unit atau lembaga, praktek mandiri, dukungan teman sejawat, informasi dan riset, dan assesmen atau penilaian, ketiga yaitu memuat pelaksanaan yang juga memuat mengenai pernghargaan dan keterbukaan, kerahasiaan dan berbagi informasi, setting layanan konseling, serta tanggung jawab seorang konselor, keempat memuat mengenai pelanggaran dan sanksi yang juga memuat mengenai bentuk pelanggaran apa saja yang dilakukan, sanksi dari pelanggaran yang dilakukan, serta mekanisme penerapan sanksi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suherna pada tahun 2010, tentang implementasi kode etik bimbingan konseling yang mengungkapkan bahwa masih banyaknya guru bimbingan konseling atau konselor sekolah yang memiliki pemahaman yang relatif rendah mengenai kode etik dari profesi bimbingan konseling itu sendiri dan dalam temuannya juga menyebutkan bahwa sebagian besar konselor sekolah yang tidak mengenal adanya kode etik bimbingan konseling. Secara garis besar juga permasalahan kode etik dapat dibagi dua, yaitu yang pertama adalah mengenai pelanggaran kode etik, yaitu pelanggaran terhadap konseli seperti pelanggaran terkait dengan kepercayaan konseli, melakukan perbuatan asusila atau pelecehan terhadap konseli, konselor memaksakan referensi nilai atau prinsip pada konseli, dan konselor membuat konseli ketergantungan dan tidak mandiri, kedua adalah pelanggaran terhadap organisasi profesi seperti adanya konflik kepentingan seperti konselor berperan ganda yaitu sebagai konselor dan peran lain baik dalam hubungan pribadi maupun profesional, juga tidak melaksanakan aturan yang sudah ditetapkan dan mencermarkan nama baik organisasi profesi, ketiga yaitu pelanggaran terhadap rekan sejawat atau profesi yang terkait.

Jadi, konselor dalam memberikan layanan diikat oleh sebuah kode etik yang akan dijadikan sebagai sebuah pedoman moral, sikap atau perilaku seorang konselor dalam melakukan proses konseling dengan konselinya. Tetapi dalam kode etik konselor ini masih seringnya terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa oknum konselor, dalam hal ini ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan untuk memperkuat kode etik konselor tersebut, yaitu dengan memperkuat organisasi profesi sehingga mampu menegakkan kode etik profesi konselor, menyiapkan regulasi dan peraturan untuk memperkuat penegakan kode etik konselor, serta meningkatkan kapasitas konselor sehingga akan mampu memehami dan menegakkan kode etik dalam memberikan layanan konseling.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *