Oleh : Putu Ayu Mutiara Maharani, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha
Bertemu dengan anak-anak setiap harinya adalah sampingan dari bekerja sebagai guru. Setiap harinya, seorang guru bisa mengajar hingga tiga kelas yang berarti hampir mencapai 50 orang anak. Secara tidak langsung melalui pertemuan setiap harinya, guru menemukan banyak sekali keberagaman pada kepribadian juga tingkah laku masing-masing peserta didiknya. Beragamnya kepribadian yang dimiliki setiap anak menyebabkan guru menjadi lebih peka dan tentunya harus mampu menyesuaikan diri. Setelah pertemuan dengan puluhan anak tentunya akan ada anak yang menunjukkan keterhambatan dalam mengikuti proses pembelajaran, seperti kesulitan membaca, keterlambatan berbicara, dan kesulitan dalam memahami materi pembelajaran. Secara umum masyarakat akan langsung menilai siswa dengan kendala tersebut sebagai sosok yang bodoh. Namun, seandainya masyarakat mengetahui bahwa dibalik keterhambatan tersebut ada peserta didik yang kemungkinan mengalami berkebutuhan khusus seperti dyslexia (kesulitan membaca), tunagrahita (kemampuan intelektual dan kognitif di bawah rata-rata), dan kesulitan belajar spesifik (specific learning disability). Selain keterhambatan tersebut, adapula keterhambatan lain seperti tunanetra (hambatan penglihatan), tunalaras (gangguan emosi), tunarungu (hambatan pendengaran), tunadaksa (keterhambatan pada fisik dan motorik), lamban belajar (slow learner), cerdas dan bakat istimewa, Autistic Spectrum Disorder (ASD), dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) yang masih perlu diperhatikan oleh guru.
Hak dalam menempuh pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus telah diatur pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi undang-undang ini menjamin hak pendidikan bagi penyandang disabilitas. Hal tersebut berarti anak berkebutuhan khusus bebas untuk menempuh pendidikan baik di sekolah inklusi maupun Sekolah Luar Biasa (SLB). Penentuan sekolah bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) tentunya harus dipertimbangkan dengan baik supaya anak dapat mendapatkan penanganan yang tepat. Meski SLB dikhususkan untuk anak berkebutuhan khusus, namun kini anak berkebutuhan khusus juga bisa untuk mengikuti sekolah inklusi. Sekolah inklusi merupakan sekolah reguler yang juga melayani pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus . Sebagai calon guru, pembekalan ilmu mengenai pendidikan anak berkebutuhan khusus sangat diperlukan bagi para guru supaya guru dapat menangani Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) dengan baik, mengingat adanya program sekolah inklusi. Hal ini berarti seluruh calon guru tanpa terkecuali harus memiliki pembekalan ilmu pendidikan anak berkebutuhan khusus. Demikian hal ini sangat mempengaruhi situasi belajar peserta didik nantinya.
Dalam berinteraksi dengan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) tentunya diperlukan beberapa kemampuan tertentu. Maka dari itu, calon guru dapat diberikan pembekalan yang meliputi pendidikan inklusi seperti mengajarkan guru supaya dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat, mengenalkan karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus agar guru dapat menyesuaikan diri dengan baik, juga mengenai program pembelajaran individual (PPI). PPI dirancang khusus untuk menyediakan rencana pembelajaran khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individu setiap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), sehingga mereka dapat mengikuti pelajaran sesuai dengan kemampuan dan perkembangannya. Selain itu, guru perlu mengetahui penempatan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi, sehingga dapat diterapkan berbagai model di kelas seperti kelas regular, kelas regular dengan cluster, kelas regular dengan pull out, kelas regular dengan cluster dan pull out, kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, dan kelas khusus penuh.
Selain pembekalan mengenai penanganan anak berkebutuhan khusus, guru juga perlu mengetahui syarat-syarat penilaian juga tata cara pelaksanaan ujian yang dikhususkan bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) sehingga anak dengan kebutuhan khusus juga dapat mengikuti ujian yang telah disesuaikan dengan optimal. Salah satu yang perlu dilakukan oleh guru adalah memodifikasi alat untuk penilaian seperti menggunakan braille, atau komputer dengan program Job Access with Speech (JAWS) bagi beberapa anak. Selain mengenai penilaian, guru juga tentu harus mempelajari modifikasi soal bagi anak berkebutuhan khusus supaya dapat dikerjakan sesuai kemampuannya.
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bagi calon guru tidak hanya semata berada pada pengenalan fisik juga kendala-kendala yang dialami oleh anak tersebut, melainkan pendidikan anak berkebutuhan khusus bagi guru juga meliputi cara penanganan serta cara berinteraksi yang tepat sehingga Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Selain berfokus pada anak, pendidikan yang juga diperlukan oleh calon guru adalah mengenai standar penilaian yang dibuat khusus dan juga pembentukan model-model kelas yang beragam. Adapun pendidikan lain yang diperlukan oleh calon guru seperti cara berkomunikasi dengan bahasa isyarat, baik dengan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) maupun SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). Dengan dipelajarinya bahasa isyarat, guru dapat leluasa berbicara secara lisan dan juga dengan menggunakan bahasa isyarat kepada para peserta didik, sehingga proses pembelajaran akan jadi lebih bermakna bagi peserta didik.