Pergaulan Dunia Merusak Jiwa Pancasila

Oleh : Nikita Kezia Febsdela, Teknologi Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha

Masuknya budaya barat dan dunia di Indonesia telah merusak jiwa dan kepribadian generasi muda yang sebelumnya memiliki nasionalisme tinggi. Pemikiran untuk mengikuti tren masa kini membuat banyak sekali masyarakat yang mengalami disintegrasi sosial. Identitas nasional seakan-akan sudah dilupakan perlahan-lahan. Dan hal ini terus dibiarkan sehingga menjadi permasalahan krusial dalam kehidupan anak muda. Kaelan (2007) mengemukakan bahwa identitas nasional adalah perwujudan dari nilai budaya yang tumbuh serta berkembang dalam setiap segi kehidupan bangsa, dan menjadikannya sebagai ciri khas dari bangsa lain.

Namun di era globalisasi 5.0 ini, generasi muda justru membuat identitasnya sendiri dengan menjadikan budaya barat sebagai pedomannya. Memang sangat disayangkan, namun kabar baiknya terdapat berbagai organisasi serta aksi pergerakan nasional yang telah mengorbankan jiwa dan dirinya untuk menjadi pelopor penegakkan identitas nasional ini, mulai dari skala kecil, dengan diterapkannya pembelajaran pengembangan kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan, lahirnya organisasi pergerakan mahasiswa, hingga organisasi Forum Pelajar Sadar Hukum dan HAM yang menyasar pada penegakkan identitas nasional kala ini.

Pentingnya menyikapi berbagai perubahan tersebut merupakan salah satu langkah awal yang penting untuk diterapkan oleh setiap generasi milenial, untuk itu tentu harus ada pengembangan pikiran bagi setiap individu, layaknya growth mindset dan kesadaran akan pentingnya identitas nasional bangsa dengan terus menggaungkan nama Bumi Pertiwi di kancah internasional, serta selalu menerapkan budaya juga identitas Indonesia yang baik.

Hal lain yang perlu diperhatikan ialah tindakan dari generasi muda yang terus mengobarkan jiwa anti-nasionalisme, seperti adanya julukan “Kota Petarung” yang sama sekali bukanlah sebuah identitas dari Indonesia itu sendiri. Walau julukan ini sudah mulai digantikan dengan simbol sebagai “Kota Pendidikan”, namun nyatanya masih ada pihak yang belum keluar dari status ini. Indonesia yang hakikatnya sudah merdeka menjadi surut karena timbulnya peperangan yang disebabkan oleh generasi muda itu sendiri. Kemudian budaya meboye atau budaya negative lain yang masih terus diadopsi oleh para generasi milenial menjadikan status identitas nasional Indonesia semakin hilang dari waktu ke waktu.

Adanya Tindakan demokrasi dan korupsi yang semakin meraja lela membuat permasalahan generasi muda tak henti-hentinya timbul sebagai topik utama. Sebagai calon pemegang tongkat estafet bangsa, sangat disayangkan kesadaran akan tanggung jawab ini kian melemah. Wal;aupun peran generasi muda terhadap perubahan negatif ini cukup banyak, namun begitu hakikatnya generasi muda tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa Bumi Pertiwi berhasil menduduki jabatan sebagai negara ketiga yang diberikan status Fatherless. Hal ini tentu harus diperhatikan dengan baik, di mana ayah memiliki peranan yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak, dalam segi kognitif maupun psikomotorik.

Maka dari itu, untuk mengembangkan generasi milenial dengan kesadaran dan penghayatan akan identitas nasional yang tinggi, sangat diperlukan keseimbangan dari setiap pihaknya. Generasi muda yang harus memfilter budaya yang masuk, dibarengi dengan pola asuh orang tua yang selalu mendukung serta bersifat positif.

Berkaitan dengan hal di atas, terwujudnya kesadaran identitas nasional yang baik memang tidak hanya berasal dari intrinsik individu, namun begitu generasi dalam negeri itulah yang menjadi akses penentu, apakah identitas nasional bisa terus dilestarikan, atau justru akan semakin tergerus.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *