Mengukur Manfaat 12 Tahun Pendidikan Kewarganegaraan: Apa akhirnya penting?

Oleh : Indra Farid Maulana, Mahasiswa S1-Teknik Elektro 2024, Universitas Negeri Yogyakarta

Di antara bagian dalam atau luarnya negara, banyak mengatakan pemerintahlah yang memiliki peran paling penting. Lebih penting kedudukannya dibandingkan masyarakat. Namun, mari telaah kembali sebagai warga negara dan mahasiswa. Kita berada di negara demokrasi, yang mana memiliki slogan “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang dicetuskan oleh Abraham Lincoln. Ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kedudukan penting di mata negara. Lalu, apakah sudah kedudukan kita dipandang demikian? Faktanya, masih belum. Walaupun ada, hanyalah golongan atau keluarga tertentu atau mudahnya distribusi pengaruh yang tidak merata.

Apa solusinya? Pertama, dobrak habis parasit di dalam sistem negara. Kedua, evaluasikan ke generasi selanjutnya, bukan hanya generasi yang akan memerintah, tetapi juga akan diperintah. Mengapa? Mudahnya kita demokrasi, yang mana kuantitas lebih diutamakan dibandingkan kualitas. Jika 51% orang bodoh dan 49% orang cerdas, tetap saja yang dipilih 51% tersebut karena suara terbanyak yang akan diutamakan. Maka, akan sangat mudah menggerakkan atau memanipulasikan rakyat yang tidak berkualitas, atau lebih jelasnya tidak memiliki satu pandangan soal hukum. Contohnya, “ah, ngapain demo, ntar juga kelar” “lumayanlah 100 rb buat milih doang” “Fomo lu” “ya, nggak papa lah, kan dia juga berkontribusi. 3 tahun ga bentar, loh”, dan sebagainya. Mudahnya hukum adalah hukum tidak bisa menguntungkan “seseorang”, tidak bisa melihat “seseorang”.

Akan panjang bahasannya jika harus fokus ke bagian itu. Oke, hal terpenting adalah bagaimana generasi selanjutnya bisa lebih berkontribusi, baik di dalam dan luar bagian negara. Kita sebagai generasi muda yang akan ditunjuk, yang akan menjadi ujung tombak. Untuk bisa menjadi generasi yang baik atau dapat berkontribusi dengan cara semaksimal mungkin, kita perlu memiliki satu pandangan sama soal hukum. Caranya bagimana? pertama-tama, kita perlu memahami negara kita sendiri, memiliki pandangan yang satu dan menumbuhkan sifat dasar bernegara.

Ada yang berpendapat bahwa negara yang baik, negara yang berhasil dalam pemerintahannya, tidak membutuhkan warganya untuk mengerti secara mendetail, tetapi untuk kita yang sedang dimasa-masanya krisis, di mana masih banyak celah dalam sistem pemerintahan yang disalahgunakan, kita tidak bisa manja. Nah, kita sebagai siswa atau mahasiswa telah disokong dengan materi-materi yang ada di PPKN, di sana dijelaskan mengenai hal-hal dasar tentang struktur pemerintahan dan hukum. Selain daripada itu, kita juga dipertemukan dengan sifat nasionalisme, patriotisme dan sifat-sifat penting yang harus ada di miliki setiap warga negara. Sayangnya, hal paling mendasar pun masih saja ada di antara kita yang belum mengerti, belum bisa marialisasikannya dan paling buruknya adalah acuh. Hal ini, Patut dipertanyakan, apakah siswa yang tidak kompeten atau malah tenaga pendidiknya? Atau parahnya, sistemnya.

Contoh paling sederhana dan terlihat jelas adalah malas saat upacara, mengoblok kan pendemo dan yang paling terasa di dunia perkuliahan adalah menipu orang tua dengan mengatakan UKT yang di atas apa yang tertera di surat, memanfaatkan ketidaktahuan agar mendapatkan uang jajan lebih sama saja dengan korupsi. Inilah alasan mengapa mata pelajaran PPKN terus ada dari SD hingga kuliah—agar masyarakat memiliki pemahaman dasar yang baik tentang hukum dan moralitas, serta memiliki satu pandangan yang selaras tentang hukum.

Namun, tidak etis rasanya jika kita mengatakan PPKN adalah satu-satunya sumber pembelajaran. Kita bisa juga belajar di media-media lain, mungkin bisa ditambah dengan filsafat karena pada dasarnya memplajari filsafat sangat penting untuk memainkan atau mengasah logika kita untuk lebih kritis bukan atheis. Tentunya, objektif. Perlu ditekankan hukum ada karena adanya filsafat. Itu dasarnya.  Dan beruntungnya kita, ada pemuda-pemudi yang peduli keberlangsungan negaranya. Contohnya Malaka project, yang terinspirasi oleh Tan Malaka. Fokusnya untuk menjadi perantara pandangan atau bahasan yang dikaji Tan Malaka, tentunya tidak serta merta karena bagaimanapun juga buku-buku beliau diterbitkan mulai 1943 -pastinya ada yang tidak relevan dengan perkembangan sekarang.

Salah satu pembahasan project ini adalah logika mistika yang salah satu termasuk pandangan Madilog, kita tidak dapat satu pandangan jika masih memakai cara yang tidak bisa dipertanggungjawabkan atau tidak kongkrit. Kutipan menarik atau pendahuluan awal pandangan ini adalah “ “Madilog” ialah cara berpikir, yang berdasarkan Materialsime, Dialektika dan Logika buat mencari akibat, yang berdiri atas bukti yang cukup banyaknya dan tujuan diperalamkan dan di peramati. Madilog sama sekali dan tepat berlawanan dengan segala-gala yang berhubungan dengan Mistika, Kegaiban,  tidak pula saya maksudkan, bahwa sudah tak ada yang gaib di dunia, yakni sudah semua diketahui. Pengetahuan tidak akan habis dan tidak boleh habis. pengetahuan baru menimbulkan persoalan baru. Tetapi persoalan baru itu akan terus-menerus pula bisa diselesaikan. Tidak ada batas pengetahuan dan tiada pula batas-batasnya persoalan. Inilah bahagian dari kehidupan manusia dan bagian dari dunia pikiran. Barang siapa yang mengaku, bahwa ada batas pengetahuan atau batas persoalan, maka dia jatuh kelembah mistika dan terperangkap dogmatisme.” Menarik bukan?

Lanjutan caranya bisa berupa program seperti contoh barusan atau hal semacamnya. Yang mana akan panjang bahasannya jika diperjelas satu persatu. Hanya saja, kita perlu dan harus memaksimalkannya. Saya rasa, jika semua sudah berjalan lancar maka persoalan lain akan lebih mudah diatasi. Untuk kesimpulan, peran pemerintah yang efektif tidak hanya bergantung pada kualitas pejabatnya, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif dan kritis warganya. Masyarakat yang terlibat secara aktif dalam proses demokrasi dapat membantu memastikan bahwa keputusan pemerintah mencerminkan kepentingan umum dan mengurangi risiko penyalahgunaan kekuasaan. Dan terakhir, saya harap adanya moralitas/etika berpolitik yang baik dan saya berharap kita semua tidak acuh terhadap lingkungan dan bernegara.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *