Oleh : Luh Putu Kartika Mahadewi Natha, Program Studi S1 Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Ganesha
Kode etik profesi konselor merupakan sebuah aturan etik yang professional yang harus diikuti oleh profesi tersebut yaitu konselor dalam menjalankan tugas profesinya. Dalam menjalankan tugas, konselor harus memperhatikan etika yang khusus yaitu pada kode etik profesi agar lebih mudah dipahami, diikuti, dan dilaksanakan oleh konselor yag professional. Konselor adalah profesi dengan seperangkat aturan, standar, dan nilai yang dipatuhi dan harus dipatuhi oleh semua anggota profesinya. Kode etik konselor merupakan landasan moral bagi perilaku profesional dan pedoman yang harus diikuti dan dianut oleh setiap anggota profesi konseling di Indonesia. Aturan ini berlaku untuk semua profesi bimbingan dan konseling di Indonesia pada semua tingkatan dan di semua wilayah. ABKIN (2018) menegaskan bahwa kode etik konselor adalah seperangkat standar, sistem nilai, dan moral yang menjadi dasar perilaku para profesional dalam pelaksanaan tugas profesionalnya dan kehidupan di masyarakat dalam lingkungan budaya tertentu. Penyusunan Kode Etik Konseling untuk menanamkan karakter dan sikap profesional atau kode etik anggota dalam memberikan pelayanan bantuan dalam memberikan layanan professional, mendukung visi dan misi organisasi profesi, menjadi dasar pemecahan masalah yang berasal dari anggota profesi, perlindungan konselor dari konselinya (PBABKIN, 2018). Kode etik konselor juga dapat meningkatkan akuntabilitas dan kejujuran organisasi konseling profesional dan membuat penyampaian layanan konseling menjadi lebih efektif.
Diskriminasi merupakan sikap membedakan terhadap sesama individu berdasarkan ras, golongan, suku, ekonomi, agama, dan lain-lain. Kode Etik ACA (American Counseling Association) telah menetapkan delapan poin utama yang menjadi fokus pelaksanaan layanan konseling. Salah satu dari delapan point tersebut adalah tanggung jawab seorang profesi profesional. Seorang konselor diharapkan untuk berkomunikasi secara terbuka, jujur dan akurat dengan konseli dalam layanan konseling. Konselor harus berlatih tanpa diskriminasi dalam kerangka kompetensi profesional dan pribadi mereka. Sebagai seorang konselor tidak boleh mendiskriminasi konseli dengan cara yang merugikan individu tersebut.
Dalam kode etik konselor, prinsip-prinsip khusus yang terkait dengan tujuan layanan yaitu bimbingan dan konseling berlaku untuk semua orang tanpa memandang usia, jenis kelamin, orientasi seksual, asal suku, agama, dan status sosial ekonomi. Bahkan untuk siswa LGBT, konselor di sekolah memiliki kesempatan untuk memfasilitasi seperti pertumbuhan, pengetahuan, dan pemahaman yang baik sehingga minoritas gender dan individu heteroseksual dapat belajar dan berkembang dalam lingkungan sekolah yang positif. Konselor harus bisa menghormati dan menghargai nilai-nilai pada kemanusiaan dan kebebasan memilih, serta mempertimbangkan kepentingan konseli untuk kepentingan umum. Ini adalah bentuk penghormatan kepada semua konselinya yang telah melakukan layanan konseling tanpa memandang usia, budaya, disabilitas, etnis, jenis kelamin, ras, agama, orientasi seksual, dalam status perkawinan, pilihan berbahasa, status sosial ekonomi atau faktor diskualifikasi lainnya. Tentu setiap individu berbicara secara manusiawi memiliki penilaian tersendiri terhadap orang lain yang terlibat dalam interaksi tersebut. Di sisi lain bagaimanapun konselor harus selalu menyadari kualifikasi profesionalnya yang dia butuhkan untuk dibawa bersamanya dalam layanan bimbingan konseling.
Terdapat juga seorang konselor hanya melakukan layanan konseling hanya kepada konseli yang keren dan tampaknya memiliki selera mode yang tinggi. Jika konseli lain meminta saran ataupun melaksanakan layanan konseling konselor akan menolaknya. Namun layanan konseling khususnya konseling individu, sangat perlu dilakukan kepada setiap konseli yang menginginkannya. Apapun alasannya, perilaku diskriminatif dalam layanan konseling tentu tidak dibenarkan. Konselor harus menghindari tindakan dekriminatif kepada klien atau konseli. Konselor harus menghormati harkat dan martabat seorang individu sesuai dengan hak asasinya. Pada konseli sudah memiliki hak asasinya sejak dalam kandungan. Konselor mampu mengembangkan pandangan bahwa seorang individu dilahirkan dengan hak asasinya sehingga ketika memandang konsseli, konselor mengakui semua hak konseli terutama di sekolah. Menoleransi masalah konselinya baik itu masalah pribadi, sosial, studi, atau pekerjaan harus benar-benar menarik perhatian konselornya. Konselor tidak diperbolehkan untuk membedakan masalah tertentu, apakah harus ditangani ataupun tidak.