Oleh : Komang Sadia Puspa Dewi, Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Ganesha
Menurut LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Mitra Perempuan pada tahun 2004 (dalam Huda Haem,2007: 172), menyebutkan bahwa jumlah kasus KDRT yang dicatat oleh lembaga tersebut telah mencapai angka 14.802 kasus, sedangkan pada tahun 2005, jumlah itu meningkat menjadi 24% atau mencapai 21.207 kasus. Tidak hanya dalam lingkup kehidupan keluarga dan sosial, kasus kekerasan yang terjadi pada anak, juga merambah pada sektor pendidikan formal mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Padahal institusi inilah yang paling diharapkan menjadi garda terdepan, penanaman nilai moral, karakter dan agama dalam kehidupan.
Secara umum faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Kedua faktor di atas dapat berpengaruh negatif tidak hanya pada pelaku dan korban yang mengalami tindak kekerasan berupa fisik maupun secara verbal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban tidak langsung dari peristiwa kekerasan semisal pertengkaran kedua orang tuanya di rumah, juga memiliki kerentanan mengalami trauma psikis. Laki-laki yang menyerang atau berlaku agresif pada pasangannya memiliki kemungkinan yang lebih tinggi melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik maupun pelecehan fisik pada masa kanak-kanak di lingkungan keluarganya dulu.
Hubungan antara trauma menyaksikan peristiwa KDRT dengan munculnya problem psikologis, memang akan melemah seiring meningkatnya usia anak. Atau dengan kata lain kemungkinan munculnya problem perilaku akibat KDRT menjadi lebih rendah jika anak menyaksikan KDRT pada usia yang lebih tua. Hal ini mengindikasikan bahwa usia dan pemahaman yang lebih matang dapat menjadi faktor protektif atas efek negatif trauma KDRT. Hanya saja, tidak semua kekerasan yang dilihat dan didengar langsung anak dapat selalu dipantau oleh orangtua.
Menurut Agus Sutiyono (2010: 104) yang menyatakan bahwa Trauma adalah jiwa atau tingkah laku yang tidak normal akibat tekanan jiwa atau cedera jasmani karena mengalami kejadian yang sangat membekas yang tidak bisa dilupakan. Trauma dapat terjadi pada anak yang pernah menyaksikan, mengalami dan merasakan langsung kejadian mengerikan atau mengancam jiwa, seperti tabrakan, bencana alam, kebakaran, kematian seseorang, kekerasan fisik maupun seksual dan pertengkaran hebat orangtua.
Bagi anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga, juga dapat mengalami trauma berupa gangguan fisik, mental dan emosional. Pengalaman melihat kekerasan dalam rumah tangga pada anak dapat menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korbannya. Pengalaman menyaksikan dan mengalami KDRT adalah suatu peristiwa traumatis karena kekerasan dilakukan oleh orang-orang yang terdekat bagi anak, keluarga yang semestinya memberikan rasa aman, justru menampilkan dan memberikan kekerasan yang menciptakan rasa takut serta kemarahan.
Ada beberapa dampak yang muncul sebagai reaksi dari kasus trauma kekerasan yang dialami anak, meskipun fenomena ini akan berbeda bentuknya pada setiap anak. Adapun bentuk trauma adalah sebagai berikut:
- Agresif. Sikap ini biasanya ditujukan anak kepada pelaku tindak kekerasan. Umumnya ditunjukkan saat anak merasa ada orang yang bisa melindungi dirinya.
- Murung atau depresi. Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis, seperti menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai dengan penurunan berat badan.
- Mudah menangis. Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak aman dengan lingkungannya.
UPAYA PEMULIHAN
Lebih lanjut ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam usaha mengelola pikiran yang mengganggu dan berdamai dengan diri sendiri untuk menghadapi trauma yang dialami, seperti:
- Menghindari hal yang mengingatkan kembali trauma. Hal ini bisa dilakukan dalam jangka waktu dekat dan disertai dengan usaha yang lain. Usaha menghindar ini digunakan agar kita bisa berpikir tenang.
- Melakukan kegiatan menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiran. Sekali lagi, ini bukanlah hal utama yang dapat menenangkan pikiran terhadap ingatan trauma yang dialami, kegiatan ini bertujuan untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan positif.
- Memperhatikan diri sendiri. Dengan merawat fisik untuk tetap sehat, perasaan dan pikiran kita akan terbawa menjadi sehat juga
- Mengikuti kegiatan kelompok dukungan. Mencurahkan pikiran dan perasaan dengan orang lain yang mengalami trauma yang sama akan membantu mengurangi luka yang ada dan pikiran yang mengganggu pada korban kekerasan seksual.
- Membicarakan dengan pendamping, konselor, atau psikolog. Kesehatan pikiran dan jiwa seseorang dapat ditangani oleh orang yang ahli dalam bidang tersebut. Konselor dapat membantu kita untuk menangani pikiran atau perasaan yang terlalu kuat.