Tren ‘Daddy Issues’ yang Mengakibatkan Remaja Perempuan Ketergantungan Terhadap Pasangannya

people, man, adult-3120717.jpg

Oleh : Keysha Almira Dofa Ramadhani

Fenomena ‘daddy issues’ semakin menjadi topik hangat di kalangan remaja saat ini. Khususnya di media sosial seperti X, TikTok, Instagram, dan lainnya. Masalah ini sering dikaitkan dengan pola ketergantungan emosional yang tidak sehat, dimana seorang gadis memandang pasangannya sebagai figur ayah yang tidak ia dapatkan secara stabil sebelumnya. Oleh karena itu, ketergantungan ini seringkali menimbulkan masalah psikologis, baik pada gadis itu sendiri maupun dalam hubungannya. Tapi apa sebenarnya arti dari ‘dady issues’ dan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan gadis remaja?

Menurut tesis David Ricardo Inniss, ‘daddy issues’ adalah tidak adanya atau minimnya peran ayah dalam kehidupan anak-anaknya yang disebabkan oleh ketidakseimbangan emosional dan psikologis. Innis berpendapat bahwa ayah mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan emosi anak. Sosok ayah tidak hanya melindungi dan memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga berperan sebagai penopang yang memberikan rasa aman, jati diri, dan harga diri pada anak, terutama bagi anak perempuan. Absennya seorang ayah yang seharusnya memberikan dukungan emosional bagi keluarga ternyata bisa berdampak besar pada hubungan romantis seorang gadis di masa depan. Tanpa sosok ayah yang stabil, anak perempuan mungkin tumbuh dengan perasaan diremehkan, tidak layak dicintai, dan bahkan mungkin mempertanyakan kemampuan mereka untuk membentuk hubungan yang sehat. Hal ini sering kali mengarah pada pencarian keseimbangan emosional dalam hubungan romantis yang tidak sehat, di mana pasangan menggantikan ayah sebagai figur sentral dan gadis itu memfokuskan seluruh harapan dan kebutuhannya pada hubungan tersebut.

Pada dasarnya, ‘daddy issues’ dapat bermanifestasi sebagai berbagai bentuk ketergantungan emosional. Bagi remaja perempuan yang tumbuh tanpa figur ayah yang stabil atau dengan hubungan yang tidak baik dengan ayah mereka, hubungan romantis memberikan cara untuk memuaskan kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi di masa kanak-kanak. Saat mereka menjalin hubungan romantis dengan seorang laki-laki, pasangannya dipandang sebagai sosok ayah, seseorang yang diharapkan bisa memberikan perlindungan, perhatian, dan rasa aman yang tidak bisa diberikan oleh ayah kandung. Namun, ketergantungan emosional yang berlebihan ini seringkali berujung pada pola hubungan yang tidak sehat, sehingga disebut hubungan yang ‘toxic’. Remaja perempuan yang memiliki ‘daddy issues’ cenderung memusatkan dunianya pada pasangannya dan sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di hubungan mereka. Ketika pasangan menunjukkan tanda-tanda ketidakpedulian atau cuek, gadis tersebut rentan mengalami kecemasan berlebihan bahkan depresi.

Menurut saya, ketergantungan emosional yang tidak seimbang dalam suatu hubungan bisa memberikan dampak yang jauh lebih besar pada gadis yang memiliki ‘daddy issues’ dan bergantung pada pasangannya dibandingkan masalah dalam hubungan itu sendiri, dan ia berisiko kehilangan identitasnya. Ia mungkin merasa bahwa kebahagiaan dan kesuksesannya sepenuhnya bergantung pada pasangan, dan dirinya mungkin merasa tidak berdaya dan hampa ketika hubungan itu tidak berjalan dengan baik. Selain itu, hubungan seperti itu sering kali mengarah pada siklus pelecehan emosional. Pasangan yang bergantung secara emosional mungkin merasa terbebani oleh ekspektasi dan tuntutan yang tidak realistis dari pasangannya. Hal ini dapat menyebabkan ketegangan, konflik, dan bahkan pelecehan dan manipulasi emosional.

Di sisi lain, seorang gadis yang memiliki ‘daddy issues’ sering kali menoleransi perilaku buruk dan perlakuan tidak adil dari pasangannya karena merasa tidak bisa hidup tanpa pasangannya. Selain itu, seorang gadis yang mengandalkan pasangannya sebagai satu-satunya dukungan emosional mungkin mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan sosial lainnya. Mereka cenderung menarik diri dari persahabatan dan hubungan keluarga karena seluruh perhatiannya terfokus pada pasangannya. Hal ini dapat semakin memperparah isolasi sosial yang mereka rasakan akibat tidak memiliki sosok ayah dalam hidup mereka. Secara psikologis, bagi perempuan, ketergantungan ini juga berisiko menimbulkan perasaan rendah diri dan tidak berharga. Mereka mungkin merasa tidak bisa mencapai kebahagiaan atau kesuksesan tanpa dukungan dan persetujuan pasangannya.

Fenomena ‘daddy isues’ lebih dari sekedar tren psikologis atau istilah populer yang sering dilontarkan di media sosial. Ini adalah masalah serius yang disebabkan oleh disfungsi hubungan dalam keluarga, terutama antara ayah dan anak perempuan. Ketidakhadiran sosok ayah, atau kurangnya peran ayah dalam perkembangan emosi anak, dapat berdampak jangka panjang pada kehidupan cinta seorang gadis remaja dan dapat menimbulkan ketergantungan emosional yang tidak sehat terhadap pasangannya. Untuk mengatasi masalah ini, gadis remaja perlu mendapat dukungan psikologis yang memadai dari keluarga, konselor, atau lingkungan sosial yang peduli. Edukasi mengenai kesehatan mental dan hubungan yang sehat juga perlu ditingkatkan, terutama bagi generasi muda yang masih dalam tahap pengembangan identitas diri. Mereka harus didorong untuk menemukan kekuatan dan kebahagiaan  dalam diri mereka sendiri, daripada hanya mengandalkan pasangan atau hubungan romantis mereka.

Sebagai masyarakat, kita perlu lebih peka terhadap situasi ini dan tidak lagi menganggap remeh dampak psikologis dari tidak adanya sosok ayah dalam kehidupan seorang anak. Keseimbangan emosional dan psikologis harus dibangun sejak dini agar anak perempuan dapat tumbuh mandiri secara mental, kuat, dan mampu menjalin hubungan yang sehat di kemudian hari.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *