Oleh: Lisa Nurlaila Amara H
Wacana masuk sekolah pukul 06.30 yang baru-baru ini mencuat di sejumlah daerah di Indonesia telah memantik diskusi publik yang hangat. Beberapa kepala daerah meyakini bahwa masuk sekolah lebih pagi akan meningkatkan kedisiplinan dan etos kerja siswa. Namun, apakah benar bahwa bangun lebih pagi selalu identik dengan prestasi yang lebih tinggi?
Kita perlu melihat kebijakan ini tidak hanya dari kacamata administratif dan logistik, tetapi juga dari sudut pandang kesehatan, psikologi anak, efektivitas pembelajaran, hingga praktik global. Pendidikan bukan sekadar soal hadir tepat waktu, melainkan proses kompleks yang menyentuh perkembangan fisik, mental, dan intelektual peserta didik. Maka, kebijakan perubahan waktu masuk sekolah harus ditimbang dengan cermat dan berbasis bukti.
Pertama, mari bicara soal biologi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa remaja mengalami pergeseran ritme sirkadian secara alami—yang membuat mereka lebih aktif di malam hari dan cenderung butuh waktu tidur lebih lama di pagi hari. Menurut American Academy of Pediatrics, masuk sekolah sebelum pukul 08.00 justru berpotensi menurunkan kualitas belajar karena otak anak belum berada pada kondisi prima untuk menerima pelajaran.
Hal ini bukan sekadar teori barat yang tidak relevan di Indonesia. Studi serupa telah dilakukan di sejumlah kota di Asia dan Afrika, dengan hasil yang konsisten: masuk sekolah terlalu pagi mengurangi fokus, meningkatkan rasa kantuk di kelas, serta berdampak pada kesehatan mental jangka panjang. Bahkan di Jepang dan Korea Selatan—dua negara yang dikenal dengan etos belajar tinggi—sekolah justru dimulai pukul 08.00 atau bahkan lebih siang.
Kedua, jika tujuannya adalah membangun disiplin, apakah waktu masuk sekolah adalah indikator utama? Disiplin sejati bukan semata-mata soal kepatuhan terhadap jam, melainkan keterampilan manajemen diri yang tumbuh secara sadar. Disiplin tidak datang dari rasa takut terhadap sanksi, tetapi dari pemahaman akan pentingnya tanggung jawab dan pengelolaan waktu. Dengan kata lain, kita bisa menanamkan disiplin tanpa harus mengorbankan kebutuhan dasar anak, seperti waktu tidur dan kesehatan.
Ketiga, dari sisi logistik dan keamanan, masuk sekolah pukul 06.30 memunculkan tantangan baru. Banyak siswa tinggal jauh dari sekolah dan harus berangkat sebelum fajar. Transportasi umum belum beroperasi maksimal, dan jalanan masih minim penerangan. Risiko keamanan pun meningkat, terutama bagi siswa perempuan dan anak-anak yang berjalan kaki. Bagi guru, beban kerja pun bertambah, karena mereka harus tiba lebih pagi dan tetap bertugas hingga sore hari.
Selain itu, kita harus mempertanyakan mengapa sebagian daerah di Indonesia ingin menerapkan kebijakan ekstrem ini, sementara dunia justru bergerak ke arah sebaliknya. Di Finlandia—negara yang secara konsisten menjadi rujukan dalam hal pendidikan—sekolah dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 14.00, namun hasil akademik dan kesejahteraan siswanya tetap optimal. Apakah kita ingin menunjukkan “kerja keras” semata, atau membentuk sistem belajar yang benar-benar efektif?
Bukan berarti sistem pendidikan kita harus meniru negara lain secara mentah. Namun, kebijakan pendidikan harus berbasis pada riset, konteks sosial, dan kondisi anak Indonesia secara nyata. Jika tidak, kita hanya memaksakan sistem yang terlihat tegas di permukaan, namun rapuh dan membebani di dalamnya.
Pendidikan yang baik bukan soal siapa yang datang paling pagi, melainkan siapa yang paling siap belajar. Alih-alih mendorong anak-anak bangun sebelum matahari terbit, lebih baik kita membangun ekosistem pendidikan yang sehat, aman, dan berpihak pada tumbuh kembang mereka. Sudah saatnya kita berpikir ulang: apakah jam masuk sekolah yang terlalu pagi benar-benar solusi, atau hanya simbol disiplin semu yang menambah beban generasi penerus?
“Bangun lebih pagi belum tentu menjadikan anak lebih cerdas. Tapi pendidikan yang memahami kebutuhan anak pasti akan membentuk manusia yang lebih utuh.”