OLEH : ACH FAIZAL, PRODI PAI SEMERTER 2, FILSAFAT ILMU
Beberapa waktu terakhir, jagat media sosial dikejutkan oleh tersebarnya video singkat yang memperlihatkan dugaan penganiayaan seorang mahasiswi oleh mahasiswa di kawasan kampus Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Video berdurasi beberapa detik itu segera menyulut amarah publik. Narasi yang dibangun dalam unggahan media sosial dan media daring pun turut memperkuat citra pelaku sebagai ‘brutal’, ‘tak berperikemanusiaan’, dan ‘memalukan dunia pendidikan’. Tak butuh waktu lama, opini publik pun mengkristal: pelaku bersalah, korban butuh keadilan, dan kampus dianggap lalai.
Namun, di balik kecepatan laju penyebaran informasi dan derasnya gelombang reaksi publik tersebut, ada satu pertanyaan penting yang patut diajukan dalam kerangka berpikir ilmiah: apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik peristiwa viral ini, jika kita meninjaunya dari sudut pandang logika dan bahasa sebagai alat berpikir ilmiah?
Filsafat ilmu tidak mengajarkan kita untuk menolak emosi atau membenarkan kekerasan. Namun ia mengajarkan kita agar tidak tergesa-gesa dalam menarik kesimpulan, dan untuk menilai kebenaran tidak hanya berdasarkan citra visual atau narasi yang dominan, melainkan melalui instrumen berpikir kritis yang sahih yakni logika dan bahasa.
1. Viralitas Bukan Validitas: Kebenaran yang Harus Diuji, Bukan Dipercaya Begitu Saja
Dalam konteks peristiwa ini, sangat penting bagi kita untuk memisahkan antara fakta yang terlihat dengan kesimpulan yang logis. Video yang beredar hanya menunjukkan satu sisi peristiwa, dan belum tentu mewakili keseluruhan konteks. Sayangnya, dalam budaya digital kita saat ini, video seringkali dianggap sebagai “bukti absolut”, padahal secara logis dan ilmiah, hal itu belum tentu cukup untuk membangun kebenaran yang utuh.
Logika mengajarkan bahwa suatu kesimpulan harus ditarik dari premis-premis yang lengkap dan sahih. Misalnya, jika kita menyimpulkan bahwa “Mahasiswa A bersalah karena terlihat memukul dalam video”, maka kita telah melakukan sebuah inferensi parsial, yaitu menyimpulkan secara keseluruhan dari data yang tidak lengkap. Dalam logika, ini dikenal sebagai generalisasi berlebihan (hasty generalization) kesalahan berpikir yang sangat umum di masyarakat digital kita.
Lebih parah lagi, publik sering terjebak dalam fallacy ad populum, yakni menganggap bahwa sesuatu itu benar hanya karena mayoritas orang mempercayainya. Ketika ratusan ribu komentar dan ribuan unggahan mengecam pelaku, maka tekanan untuk menyepakati opini publik pun meningkat. Padahal dalam filsafat ilmu, kebenaran tidak bisa dibangun berdasarkan suara terbanyak, melainkan melalui argumen yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan secara rasional.
2. Bahasa Sebagai Alat Framing: Dari Penyampai Fakta ke Pengarah Emosi
Selain logika, bahasa memegang peran besar dalam membentuk opini publik. Kata-kata bukanlah alat netral. Dalam kasus ini, narasi media banyak menggunakan diksi-diksi emosional seperti “sadis”, “biadab”, “sampah kampus”, dan lain-lain. Diksi seperti ini tentu menggiring opini publik untuk berpihak secara emosional, bahkan sebelum proses investigasi resmi dilakukan oleh otoritas kampus maupun kepolisian.
Menurut para filsuf bahasa seperti Wittgenstein dan Habermas, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga alat kekuasaan dan pembentuk realitas sosial. Dalam dunia media, pemilihan kata secara halus bisa membentuk persepsi yang bias. Sebagai contoh, menyebut pelaku sebagai “oknum mahasiswa” sudah berbeda dampaknya dibanding menyebutnya “seorang pria yang diduga mahasiswa”.
Penggunaan bahasa yang menekankan aspek emosional dapat memperkuat narasi publik yang belum tentu benar secara ilmiah. Hal ini menunjukkan bagaimana retorika—yakni seni memengaruhi orang lain melalui kata-kata dapat mengalahkan logika, bahkan di tengah masyarakat yang mengaku mengedepankan data dan rasionalitas.
3. Ilmu Membutuhkan Verifikasi, Bukan Asumsi
Dalam filsafat ilmu, kebenaran harus diuji melalui metode ilmiah—baik dengan deduksi, induksi, maupun falsifikasi (sebagaimana dijelaskan oleh Karl Popper). Sebuah klaim, misalnya “Pelaku melakukan kekerasan secara sadar”, hanya bisa diterima setelah melalui pengumpulan data, pengujian saksi, rekonstruksi kejadian, serta proses hukum. Tanpa itu semua, maka kita hanya beroperasi pada level dugaan, bukan pengetahuan ilmiah.
Sayangnya, ruang media sosial tidak dirancang untuk verifikasi, tetapi untuk kecepatan dan sensasi. Ini menjadi tantangan serius bagi masyarakat ilmiah. Mahasiswa, akademisi, jurnalis, dan masyarakat luas perlu dibekali dengan kesadaran epistemologis: bahwa tidak semua informasi bisa langsung dipercaya, dan bahwa narasi harus diuji sebelum diyakini.
4. Menjaga Akal Sehat di Tengah Ledakan Emosi Digital
Menghakimi peristiwa kompleks melalui tayangan singkat adalah bentuk penyederhanaan ekstrem yang berbahaya. Ia membunuh kompleksitas, mematikan dialog, dan menggiring kita pada budaya main hakim sendiri (trial by social media). Dalam konteks pendidikan dan dunia kampus, ini adalah ironi besar. Justru di ruang akademik, nilai yang harus dijunjung adalah nalar, kehati-hatian, dan kecermatan berpikir.
Kasus viral di Madura ini harus menjadi momen refleksi: bagaimana kita, sebagai bangsa, harus belajar membedakan antara empati yang sehat dan penghakiman yang sembrono. Kita harus belajar untuk berpikir lebih lambat, lebih kritis, dan lebih jernih. Bukan untuk membela pelaku atau menyalahkan korban, tapi agar keadilan yang ditegakkan benar-benar berpijak pada kebenaran yang utuh, bukan emosi sesaat.
Penutup: Kembali ke Filsafat Ilmu
Sebagaimana disampaikan oleh Aristoteles dalam Metaphysica, “Semua manusia pada dasarnya ingin tahu.” Namun keingintahuan itu harus diarahkan, dibentuk, dan dibimbing melalui logika dan bahasa yang sehat. Jika tidak, maka kita hanya akan menjadi konsumen informasi yang reaktif, bukan subjek berpikir yang reflektif.
Logika dan bahasa bukan sekadar materi perkuliahan filsafat ilmu. Ia adalah alat perlawanan terhadap zaman yang penuh manipulasi informasi dan sensasi. Jika kita ingin menciptakan masyarakat ilmiah—yang menjunjung keadilan, kebenaran, dan objektivitas maka kita harus mulai dari sini: dari berpikir jernih, dari bertanya, dari tidak langsung percaya, dan dari keberanian untuk bersikap hati-hati di tengah derasnya arus opini.