Oleh Tri Esa Putra
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak kemunculannya di akhir tahun 2019, wabah Covid-19 terus menunjukkan
peningkatan di berbagai negara. Kebijakan pembatasan terhadap ruang gerak publik mau tidak
mau terpaksa dilakukan oleh pemerintah seluruh dunia untuk menghambat penyebaran virus.
Namun, kebijakan ini tentu berdampak buruk terhadap perekonomian secara global. Organization
for Economic Co-Operation and Development (OECD) memprediksi bahwa dunia akan
mengalami perlambatan ekonomi hingga menjadi yang terburuk sejak tahun 2009 (BBC News,
2020).
Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan adanya perlambatan ekonomi bahkan mencapai
angka minus. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa komponen perekonomian pada
tahun 2020 mengalami kontraksi sehingga produk domestik bruto cenderung menurun
dibandingkan tahun 2019. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga mengalami perlambatan hingga
mencapai -5,32% pada kuartal kedua tahun 2020. Kontraksi paling dalam dialami oleh komponen
konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang paling dominan dalam produk domestik bruto.
Secara matematis, produk domestik bruto (Y) merupakan penjumlahan dari konsumsi (C),
investasi (I), belanja pemerintah (G), dan net ekspor (X-M) (Dumairy, 2006). Dengan demikian,
rendahnya konsumsi rumah tangga atau melemahnya daya beli masyarakat akan membawa
dampak terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Respon pemerintah dalam menanggapi rendahnya daya beli masyarakat diwujudkan
melalui pemilihan opsi kebijakan fiskal yang ekspansif, salah satunya melalui penurunan tarif
pajak. Tujuan kebijakan ini adalah menambah jumlah uang yang beredar sehingga masyarakat
dapat membelanjakan uang lebih banyak dan merangsang pertumbuhan ekonomi (Priharto, 2018).
Kebijakan pemberian insentif pajak merupakan salah satu opsi yang diambil pemerintah dalam
bidang perpajakan. Secara sederhana, insentif pajak didefinisikan sebagai suatu fasilitas yang
dialokasikan oleh pemerintah untuk individu atau organisasi tertentu demi memberikan
kemudahan di bidang perpajakan sehingga mendorong wajib pajak patuh melaksanakan kewajiban
perpajakannya (Dewi, 2019). Di masa pandemi Covid-19, pemerintah berharap insentif pajak
dapat mendorong daya beli masyarakat yang terganggu dan cenderung menurun, membantu arus
kas untuk aktivitas perusahaan, dan membantu pemenuhan kebutuhan impor atas bahan baku
produksi (Akbar, 2021).
Dalam peraturan yang ditetapkan Maret 2020, pemerintah menerbitkan PMK Nomor
23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona.
PMK ini mengalami perubahan menjadi PMK Nomor 44/PMK.03/2020, selanjutnya diubah
kembali menjadi PMK Nomor 86/PMK.03/2020, dan terakhir pada Agustus 2020 pemerintah
menerbitkan PMK Nomor 110/PMK.03/2020. Penerbitan aturan-aturan ini merupakan upaya
pemerintah untuk memberikan keringanan berupa pengurangan beban pajak, penurunan tarif,
pembebasan pajak, dan relaksasi pelayanan perpajakan.
Berbagai jenis insentif pajak yang diberlakukan oleh pemerintah akan membawa dampak
pada penerimaan pajak tahun 2020, khususnya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal
ini dikarenakan pemberian insentif pajak merupakan stimulus dari pemerintah untuk
meningkatkan daya beli masyarakat atau konsumsi yang berdampak terhadap objek pengenaan
PPN. Secara umum, penerimaan PPN dapat dikaitkan dengan daya beli masyarakat mengingat
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa (Hamid, 2019).
Pertumbuhan penerimaan PPN selayaknya dapat menggambarkan peningkatan atau penurunan
daya beli masyarakat.
Perubahan pola konsumsi akibat adanya insentif pajak juga dapat dikaitkan dengan produk
domestik bruto (PDB). Peningkatan atau penurunan konsumsi (C) akan berdampak terhadap
besarnya PDB dikarenakan konsumsi merupakan komponen terbesar penyusun PDB. Kepala
Badan Pusat Statistik Suhariyanto (dalam Fitriani, 2020) menyatakan bahwa konsumsi rumah
tangga memiliki kontribusi lebih dari lima puluh persen terhadap total produk domestik bruto.
Sedangkan, PDB memiliki keterkaitan dengan PPN berdasarkan beberapa penelitian. Pengujian
yang dilakukan oleh Herman (2007) menyatakan bahwa peningkatan PDB mampu meningkatkan
penerimaan PPN. Selanjutnya, penelitian Masyitah (2019) menunjukkan hasil serupa yang
menunjukkan bahwa PDB merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap penerimaan
PPN dan PPnBM. Kedua hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Velaj
dan Prendi (2014), Tugino (2012), serta Saepudin (2008) yang memiliki kesimpulan serupa bahwa
PDB mempunyai pengaruh signifikan terhadap penerimaan PPN. Dengan demikian, pemberian
insentif pajak secara tidak langsung akan berdampak terhadap penerimaan PPN.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan kebijakan pajak insentif?
- Bagaimana Pengaruhnya terhadap penerimaan PPN?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat dirumuskan tujuan sebagai berikut: - Untuk mengetahui apa itu kebijakan pajak insentif
- Untuk mengetahui bagaimana Pengaruhnya terhadap penerimaan PPN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan Pajak Insentif
Pajak berperan penting dalam membangun tatanan perekonomian suatu negara. Di Indonesia,
aktivitas perekonomian tidak terlepas dari fungsi pajak sebagai sumber pembiayaan negara.
Penerimaan perpajakan menyumbang 83,5% dari total pendapatan negara berdasarkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Kondisi ini menunjukkan pajak sebagai tulang
punggung keuangan negara Indonesia. Kontribusinya yang begitu besar membuat pajak menjadi
sumber pembiayaan untuk pengeluaran negara, termasuk dalam pelaksanaan pembangunan.
Secara umum, Waluyo (2013) dan Mardiasmo (2016) mengklasifikasikan pajak menjadi dua
fungsi yaitu:
1) Fungsi Penerimaan atau Anggaran (Budgeter / Budgetair) Menurut fungsi ini,
pemerintah menggunakan pajak sebagai sumber pembiayaan atau sumber dana untuk
membiayai seluruh pengeluaran.
2) Fungsi Mengatur (Regular / Regulerend) Menurut fungsi ini, pemerintah
menggunakan pajak sebagai alat untuk melaksanakan dan/atau mengatur berbagai
kebijakan baik di bidang sosial maupun ekonomi.
Di masa pandemi Covid-19 dengan kondisi iklim ekonomi yang semakin tidak kondusif
menuntut pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan di bidang perpajakan. Brzezinski (dalam
Darussalam, 2020) mengungkapkan bahwa hukum pajak didesain untuk tunduk terhadap sasaran
ekonomi. Artinya, pajak harus menyesuaikan diri dan memberi dukungan penuh terhadap
kebijakan dan tujuan ekonomi. Mengutip dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) News,
tujuan berbagai kebijakan perpajakan di masa pandemi adalah mencegah tingginya angka
pengangguran, melindungi kestabilan investasi, menjaga cashflow sektor usaha, mendorong
peningkatan konsumsi, dan sebagainya. Pemerintah Indonesia merespon kondisi lesunya
perekonomian melalui penerbitan tujuh belas produk hukum perpajakan. Salah satu peraturan
tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak
untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019. PMK terbaru yang ditetapkan
bulan Agustus 2020 ini diundangkan untuk menyempurnakan halhal yang belum diatur pada
peraturan sebelumnya.
Pada dasarnya, peraturan terkait insentif pajak telah muncul sejak terbitnya PMK Nomor
23/PMK.03/2020. PMK ini kemudian berubah menjadi PMK Nomor 44/PMK.03/2020 dengan
menambahkan insentif pajak penghasilan final. Selanjutnya, pada PMK Nomor 86/PMK.03/2020
dilakukan perluasan terhadap Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) pajak dan memperpanjang
diberlakukannya insentif pajak. Berdasarkan PMK ini, insentif pajak dapat dimanfaatkan hingga
akhir Desember 2020. Kemudian, pemerintah menerbitkan PMK Nomor 110/PMK.03/2020
dengan menambahkan insentif PPh final jasa konstruksi ditanggung pemerintah dan menaikkan
pengurangan angsuran PPh Pasal 25.
Barry (dalam Maulinarhadi dan Agusti, 2019) menjelaskan bahwa insentif pajak merupakan
suatu bentuk keringanan atau fasilitas dari pemerintah yang dialokasikan kepada wajib pajak
tertentu berupa penurunan tarif pajak yang memiliki tujuan untuk mengurangi besarnya beban
pajak yang harus disetorkan kepada pemerintah. Contoh insentif pajak antara lain: (1)
pengecualian atas pengenaan pajak, (2) penangguhan pajak, (3) pengurangan dasar pengenaan
pajak, dan (4) penurunan tarif pajak. Insentif pajak juga dapat didefinisikan sebagai suatu fasilitas
yang dialokasikan oleh pemerintah untuk individu atau organisasi tertentu demi memberikan
kemudahan di bidang perpajakan sehingga mendorong wajib pajak patuh melaksanakan kewajiban
perpajakannya (Dewi, 2019).
Insentif pajak kerap digunakan sebagai instrumen kebijakan yang digunakan oleh pemerintah
suatu negara demi menarik minat para investor dalam berinvestasi. Perserikatan Bangsa Bangsa
(dalam Trepelkov et al, 2017) menjelaskan bahwa insentif pajak ialah tentang kompetisi pajak di
mana suatu negara bersaing untuk memperoleh investasi sehingga investor tidak pindah ke lain
negara. Pada lingkup yang lebih luas, insentif pajak dapat digunakan untuk memengaruhi kegiatan
perekonomian yang mungkin sedang lesu. Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Gunadi
(2013) bahwa insentif pajak mampu menurunkan biaya pajak dibandingkan negara lain sehingga
memungkinkan investor tertarik untuk menanamkan modal. Dengan demikian, produktivitas
nasional akan meningkat dan memberikan tambahan penghasilan pada masyarakat sehingga
produk domestik bruto dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Di masa pandemi Covid-19, kebijakan pemberian insentif pajak digunakan untuk menanggapi
krisis yang muncul sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Padyanoor (2020) dengan
menitikberatkan pada manfaat bagi para wajib pajak. Hasil penelitian menyatakan bahwa
kebijakan insentif pajak berupa penurunan tarif hingga pembebasan atas pajak bermanfaat untuk
memberikan tambahan penghasilan dan tambahan modal yang dapat digunakan oleh wajib pajak
sehingga mempercepat penanganan dampak dari Covid-19. Selanjutnya, Kumar dan Aribowo
(2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemberian insentif fiskal memberikan tambahan
penghasilan yang mampu mempertahankan daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat. Konsumsi
ini memberikan efek multiplier yang menimbulkan objek PPN pada setiap rantai konsumsi yang
dilakukan sehingga penerimaan pajak tetap terjaga. Hal serupa ditunjukkan pada hasil penelitian
Utami (2010) yang menguji pengaruh insentif PPh Pasal 21 sebagai salah satu kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah. Penelitian menunjukkan bahwa insentif PPh Pasal 21 berdampak
positif bagi pekerja berupa peningkatan daya beli, peningkatan pendapatan pekerja, peningkatan
kesadaran terhadap mekanisme perpajakan, dan menurunkan angka pengangguran akibat adanya
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kebijakan pemberian insentif pajak merupakan stimulus dari pemerintah untuk meningkatkan
daya beli masyarakat atau konsumsi yang berdampak terhadap objek pengenaan PPN. Secara
umum, daya beli masyarakat dapat dikaitkan dengan penerimaan PPN mengingat PPN merupakan
pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa (Hamid, 2019). Pertumbuhan penerimaan
PPN selayaknya dapat menggambarkan peningkatan atau penurunan daya beli masyarakat. Selain
itu, perubahan pola konsumsi akibat adanya insentif pajak juga dapat dikaitkan dengan produk
domestik bruto (PDB). Peningkatan atau penurunan konsumsi (C) akan berdampak terhadap
besarnya PDB dikarenakan konsumsi merupakan komponen terbesar penyusun PDB. Sedangkan,
PDB memiliki keterkaitan dengan PPN berdasarkan beberapa penelitian. Pengujian yang
dilakukan oleh Herman (2007), Masyitah (2019, Velaj dan Prendi (2014), Tugino (2012), serta
Saepudin (2008) memiliki kesimpulan serupa bahwa PDB mempunyai pengaruh signifikan
terhadap penerimaan PPN. Dengan demikian, pemberian insentif pajak secara tidak langsung akan
berdampak terhadap penerimaan PPN.
2.2 Pengaruh Kebijakan Pajak Insentif terhadap penerimaan PPN
Insentif PPh Pasal 21 dapat diartikan kurang tepat sasaran. Hal ini dikarenakan tujuan awal
kebijakan pemberian insentif PPh Pasal 21 adalah sebagai stimulus fiskal yang diharapkan dapat
meningkatkan daya beli masyarakat dan menimbulkan objek PPN. Dengan adanya ketimpangan
distribusi, realisasi insentif PPh Pasal 21 belum mampu mencerminkan penyerapan yang
sesungguhnya. Penerima insentif yang lebih didominasi pekerja berpenghasilan tinggi mungkin
memiliki pola konsumsi yang tetap dan tidak berubah sehingga tidak berdampak secara langsung
terhadap objek PPN. Terlebih lagi dengan adanya pembatasan ruang gerak publik di masa pandemi
Covid-19 menjadikan masyarakat enggan untuk melakukan konsumsi yang sifatnya tidak terlalu
mendesak. Belanja online pun kerap menjadi pilihan demi menghindari penyebaran virus. Namun,
cara belanja ini belum memiliki pengaruh signifikan terhadap laju perekonomian dikarenakan
pungutan pajak online masih terus dilakukan identifikasi dan ekstensifikasi sehingga hanya ada
beberapa penjual di marketplace yang telah menerapkan pungutan PPN atas transaksinya.
Alternatif lain mungkin dipilih oleh sebagian pekerja yang menerima insentif PPh Pasal - Dibandingkan mengambil langkah konsumtif di tengah perekonomian yang tidak menentu,
masyarakat mungkin lebih memilih untuk mengalihkan manfaat insentif pajak menjadi tabungan
(saving). Di masa pandemi Covid-19, animo masyarakat untuk menabung uang di bank masih
cukup tinggi. Data perbankan yang menampilkan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) pada
semester I-2020 masih tumbuh cukup tinggi secara tahunan (yoy), mencapai 7,95% atau setara
Rp460 triliun.
Insentif PPh Pasal 22 Impor diwujudkan melalui pembebasan pemungutan atas impor
sehingga roda impor Indonesia terus berjalan dan neraca perdagangan terjaga stabil. Selanjutnya,
wajib pajak yang memanfaatkan insentif dapat menjual barang di dalam negeri dengan harga
terjangkau. Dengan demikian, adanya insentif PPh Pasal 22 Impor memberikan peluang kepada
wajib pajak untuk terus melakukan proses produksi. Proses produksi membutuhkan pembelian
bahan baku dan penggunaan barang modal yang turut berkontribusi terhadap kenaikan penerimaan
PPN. Artinya, beban atau biaya yang selama ini digunakan untuk membayar PPh Pasal 22 Impor
kini dapat dialihkan untuk meningkatkan proses produksi sehingga penerimaan PPN meningkat.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPN bukan semata-mata cerminan atas
konsumi melainkan juga menggambarkan proses produksi.
Insentif PPh Pasal 25 berpengaruh signifikan secara positif terhadap penerimaan PPN. Hal
ini sejalan dengan jurnal yang disampaikan oleh Kumar (2020) dan Padyanoor (2020) bahwa
kebijakan pemberian insentif PPh Pasal 25 berdampak terhadap cashflow wajib pajak badan yang
selanjutnya memberikan efek multiplier berupa timbulnya objek PPN. Kondisi ini selaras dengan
tujuan awal kebijakan insentif untuk membantu para wajib pajak badan yang terdampak oleh
wabah virus Covid-19.
Melalui PMK Nomor 110/PMK.03/2020, pemerintah menaikkan pengurangan angsuran
PPh Pasal 25 yang semula hanya 30% menjadi 50%. Meskipun pada dasarnya insentif ini bersifat
menunda, namun kesulitan cashflow yang dialami oleh wajib pajak badan dapat sedikit teratasi.
Dengan demikian, wajab pajak memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dalam mengatur cashflow
demi kelangsungan usahanya.
Menurut Herman Juwono selaku Wakil Ketua Komite Tetap Pajak Kadin Indonesia
sebagaimana dikutip dalam DDTC News, insentif pajak terutama insentif pengurangan angsuran
PPh Pasal 25 sebesar 50% sangat bermanfaat bagi korporasi karena insentif ini paling dapat
dirasakan dampaknya dalam membantu cashflow perusahaan. Aliran cashflow atas adanya insentif
PPh Pasal 25 memberikan peluang kepada wajib pajak untuk mempertahankan usahanya dengan
terus melakukan produksi. Proses produksi membutuhkan pembelian bahan baku dan penggunaan
barang modal yang turut berkontribusi terhadap timbulnya objek PPN. Artinya, beban atau biaya
setiap bulan yang selama ini digunakan untuk membayar PPh Pasal 25 kini dapat dialihkan
sementara untuk meningkatkan proses produksi sehingga penerimaan PPN meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Marlinah (2020) dan Padyanoor (2020) menyatakan bahwa
pemberian insentif pajak hanya digunakan oleh UMKM untuk mampu bertahan (survive) selama
masa pandemi Covid-19. Insentif bukan lagi digunakan untuk meningkatkan produksi usaha,
namun lebih tepat untuk menutupi kerugian usaha akibat beban usaha yang melebihi besarnya
pendapatan usaha yang diperoleh. Dampaknya, realisasi insentif pajak UMKM yang ada tidak
mampu meningkatkan penerimaan PPN karena proses produksi yang justru menurun bahkan
membuat banyak UMKM gulung tikar dan harus menutup usahanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dikutip oleh Batara (2020), hanya ada
sebagian kecil pelaku UMKM yang mengharapkan insentif pajak di masa pandemi Covid-19.
Dibandingkan insentif, bantuan modal secara tunai lebih menarik minat para wajib pajak. Hal ini
dikarenakan rendahnya permintaan barang atau jasa untuk diproduksi berdampak terhadap
kesulitan cashflow bagi pengusaha UMKM. Dengan demikian, pemanfaatan insentif PPh Final
UMKM menjadi kurang tepat sasaran terhadap penerimaan PPN.
Sementara itu, kini sebagian UMKM memilih beralih ke perdagangan e-commerce untuk
bertahan hidup. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UMKM yang dikutip oleh Batara
(2020), sebanyak 13% atau 8 juta dari total pelaku UMKM telah beralih ke bisnis online dan
sisanya sebanyak 87% masih bertahan dengan cara yang konvensional. Penjualan secara online
merupakan wujud inovasi dari produk yang ditawarkan akibat adanya pembatasan ruang gerak
publik dari pemerintah sehingga masyarakat melakukan aktivitas di rumah demi menghambat
penyebaran virus. Akibatnya, peningkatan daya beli masyarakat teralihkan sebagian ke transasksi
e-commerce. Pemberlakuan pemungutan PPN atas transaksi e-commerce yang baru diterapkan
oleh sebagian penjual di marketplace menimbulkan dampak terhadap penerimaan PPN.
Selain itu, alasan lain yang menyebabkan insentif PPh Final UMKM justru menurunkan
penerimaan PPN adalah kondisi di mana insentif ini hanya memunculkan pelaku UMKM baru
yang kurang memiliki kesadaran dalam membayar pajak. Dtinjau dari ukuran usaha UMKM, wajib
pajak baru yang berpotensi menimbulkan efek multiplier terhadap penerimaan PPN lebih berfokus
pada kelompok pelaku usaha kecil dan pelaku usaha menengah. Kedua kelompok ini hanya
menyumbang satu hingga dua persen dari total pelaku UMKM. Sedangkan, pelaku usaha mikro
yang jumlahnya lebih dominan cenderung memanfaatkan insentif pajak untuk melakukan produksi
yang jumlahnya kecil dan tidak berkesinambungan. Dampaknya, lingkup objek pengenaan PPN
menjadi lebih sempit sehingga biaya insentif pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak
sebanding dengan pengaruhnya terhadap penerimaan PPN. Dengan demikian, realisasi insentif
PPh Final UMKM berbanding terbalik dengan penerimaan PPN di mana adanya realisasi insentif
PPh Final justru menurunkan penerimaan PPN.
Pemerintah memberikan stimulus fiskal berupa insentif PPN melalui restitusi PPN
dipercepat atau pengembalian pendahuluan kepada para eksportir tanpa batasan nilai restitusi dan
kepada non eksportir dengan batasan nilai restitusi paling banyak sebesar Rp5 miliar. Kemudahan
restitusi PPN yang diberikan oleh pemerintah ternyata tidak serta merta berdampak terhadap
likuiditas wajib pajak. Hal ini dikarenakan batasan nilai restitusi yang tinggi ternyata hanya
diberikan kepada wajib pajak Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) tertentu saja. Padahal, restitusi
PPN dipercepat sebenarnya perlu dibebaskan kepada seluruh sektor mengingat dampak wabah
Covid-19 telah merambah semua jenis usaha khususnya perdagangan dan jasa. Pemberian insentif
PPN yang tidak merata menyebabkan kebijakan ini kurang efektif terutama dalam memberikan
efek multiplier terhadap penerimaan PPN.
Data yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis
(CITA), Yustinus Prastowo, menunjukkan bahwa realisasi restitusi dipercepat tahun lalu tanpa
adanya virus Covid-19 mencapai Rp32 triliun. Dengan adanya Covid-19, realisasi restitusi akan
semakin melebar dari proyeksi yang telah ditetapkan pemerintah. Data ini berusaha menjelaskan
bahwa pemberian insentif PPN yang dilakukan oleh pemerintah belum mampu mengoptimalkan
cashflow wajib pajak yang digunakan untuk meningkatkan produksi. Dampaknya, kegiatan
produksi yang stagnan tidak mampu memengaruhi timbulnya objek pengenaan PPN sehingga
insentif PPN tidak berpengaruh terhadap penerimaan PPN.
BAB III
PENUTUP
Dari kelima jenis insentif pajak yang diberikan pemerintah, ada dua jenis insentif yang
berpengaruh terhadap penerimaan PPN yaitu insentif PPh Pasal 22 Impor dan insentif PPh Pasal - insentif PPh Pasal 22 Impor memberikan peluang kepada wajib pajak untuk terus melakukan
proses produksi berupa pembelian bahan baku dan penggunaan barang modal yang turut
berkontribusi terhadap kenaikan penerimaan PPN. Sama halnya dengan dengan insentif PPh Pasal
22 Impor, pemberian insentif PPh Pasal 25 berdampak terhadap cashflow wajib pajak Badan yang
selanjutnya memberikan efek multiplier berupa timbulnya objek pengenaan PPN.
Sedangkan, insentif PPh Final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018
berupa pajak Ditanggung Pemerintah berpengaruh negatif terhadap penerimaan PPN. Hal ini
dikarenakan pemberian insentif PPh final UMKM bukan lagi digunakan untuk meningkatkan
produksi usaha, melainkan untuk menutupi kerugian usaha akibat beban usaha yang tidak dapat
tertutupi oleh pendapatan usaha yang diperoleh sehingga kenaikan realisasi insentif UMKM justru
menyebabkan penurunan penerimaan PPN. Selain itu, insentif ini memunculkan adanya wajib
pajak baru yang lebih didominasi oleh pelaku usaha mikro di mana kelompok mikro ini cenderung
hanya mempertahankan usaha dengan tingkat produksi yang kecil sehingga menyebabkan lingkup
objek pengenaan PPN menjadi lebih sempit dan menurunkan penerimaan PPN.
Insentif PPh Pasal 21 dan insentif PPN tidak berpengaruh terhadap penerimaan PPN.
Realisasi penyerapan insentif PPh Pasal 21 lebih didominasi oleh pekerja dengan kisaran gaji yang
tinggi di mana kelompok pekerja ini cenderung memanfaatkan insentif untuk menabung sehingga
memiliki pola konsumsi yang tetap dan tidak menimbulkan efek multiplier terhadap objek
pengenaan PPN. Sedangkan, realisasi penyerapan insentif PPN dengan batasan nilai yang tinggi
hanya dapat dimanfaatkan oleh sekelompok wajib pajak saja sehingga kurang efektif dalam
memberikan efek multiplier terhadap penerimaan PPN