Oleh : Putri Restu Riyani, Universitas Tidar Magelang
Bahasa Jawa dengan sistem tingkatan atau unggah-ungguh yang kompleks telah menjadi warisan budaya yang mengakar dalam masyarakat Jawa selama berabad-abad. Namun, fenomena memudarnya penggunaan bahasa krama di kalangan generasi muda dewasa ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah hilangnya bahasa krama akan diikuti dengan memudarnya tata krama dalam kehidupan sehari-hari?
Bahasa Krama sebagai Cerminan Nilai Luhur
Bahasa krama bukan sekadar alat komunikasi, melainkan manifestasi dari nilai-nilai luhur budaya Jawa yang menjunjung tinggi kesopanan, penghormatan, dan keharmonisan sosial. Penggunaan bahasa krama dalam interaksi sehari-hari mencerminkan kesadaran akan hierarki sosial yang sehat, di mana rasa hormat kepada orang yang lebih tua, guru, dan tokoh masyarakat menjadi landasan utama pergaulan.
Ketika seorang anak berbicara dengan orang tuanya menggunakan bahasa krama, dia tidak hanya berkomunikasi secara linguistik, tetapi juga mengekspresikan penghormatan, kasih sayang, dan pengakuan terhadap posisi orang tua dalam struktur keluarga. Demikian pula ketika murid berbicara dengan guru menggunakan bahasa krama, hal ini menunjukkan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan dedikasi sang guru.
Realitas Generasi Digital
Generasi muda saat ini tumbuh dalam era digital yang sangat berbeda dengan masa lampau. Mereka terbiasa dengan komunikasi yang cepat, efisien, dan seringkali informal melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Bahasa gaul, singkatan, dan emotikon menjadi bagian tak terpisahkan dari cara mereka berkomunikasi. Dalam konteks ini, bahasa krama dengan struktur yang kompleks dan formal seringkali terasa kaku dan tidak relevan.
Namun, perlu dicatat bahwa perubahan pola komunikasi ini bukan semata-mata menunjukkan hilangnya nilai-nilai kesopanan. Generasi muda tetap memiliki cara mereka sendiri untuk menunjukkan rasa hormat dan kepedulian, meskipun tidak selalu melalui bahasa krama tradisional. Mereka mungkin menggunakan kata-kata seperti “kakak”, “om”, “tante”, atau emoji yang menunjukkan rasa hormat dalam komunikasi digital.
Tantangan dan Peluang
Memudarnya bahasa krama memang menghadirkan tantangan tersendiri. Ketika media utama untuk mengekspresikan tata krama mulai menghilang, ada risiko bahwa nilai-nilai kesopanan dan penghormatan juga akan ikut terkikis. Namun, ini tidak berarti bahwa tata krama akan hilang sepenuhnya. Yang terjadi adalah transformasi cara ekspresi nilai-nilai tersebut.
Tantangan utama adalah bagaimana mempertahankan esensi tata krama Jawa tanpa terpaku pada bentuk bahasa yang kaku. Pendidikan menjadi kunci penting dalam hal ini. Sekolah-sekolah dan keluarga perlu menemukan cara kreatif untuk menanamkan nilai-nilai kesopanan dan penghormatan kepada generasi muda tanpa memaksa mereka menggunakan bahasa krama secara rigid.
Adaptasi Bukan Eliminasi
Penting untuk memahami bahwa perubahan tidak selalu berarti kehilangan. Bahasa dan budaya adalah entitas yang hidup dan berkembang mengikuti dinamika zaman. Yang diperlukan adalah adaptasi yang bijaksana, di mana nilai-nilai luhur tetap dipertahankan namun cara penyampaiannya disesuaikan dengan konteks modern.
Generasi muda dapat diajarkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan bahasa krama dengan tepat, misalnya dalam acara formal, upacara adat, atau ketika berinteraksi dengan tokoh masyarakat. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, mereka dapat menggunakan bahasa yang lebih kasual namun tetap santun dan menghormati.
Peran Keluarga dan Masyarakat
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peran crucial dalam menjaga keseimbangan antara modernitas dan tradisi. Orang tua dapat menjadi teladan dalam penggunaan bahasa yang santun, baik dalam bahasa krama maupun bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka dapat mengajarkan konteks penggunaan bahasa yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi.
Masyarakat juga perlu menciptakan ruang-ruang di mana penggunaan bahasa krama masih dihargai dan dipraktikkan, seperti dalam kegiatan budaya, seni tradisional, atau upacara adat. Ini akan membantu generasi muda memahami bahwa bahasa krama bukan sekadar fosil linguistik, tetapi bagian hidup dari identitas budaya mereka.
Kesimpulan
Memudarnya bahasa krama tidak secara otomatis berarti hilangnya tata krama, namun tentu saja menimbulkan keprihatinan yang perlu diantisipasi. Yang diperlukan adalah pendekatan yang bijaksana dalam melestarikan nilai-nilai luhur budaya Jawa sambil tetap memberikan ruang bagi adaptasi dan modernisasi.
Generasi muda perlu dibekali dengan pemahaman yang utuh tentang kapan dan bagaimana menggunakan bahasa krama dengan tepat, serta pentingnya menjaga kesopanan dalam berkomunikasi dalam bentuk apapun. Dengan demikian, esensi tata krama dapat tetap terpelihara meskipun bentuk ekspresinya mungkin mengalami evolusi.
Masa depan bahasa krama dan tata krama Jawa terletak pada kemampuan kita untuk menemukan keseimbangan antara pelestarian tradisi dan adaptasi terhadap perubahan zaman. Yang terpenting adalah memastikan bahwa nilai-nilai kesopanan, penghormatan, dan keharmonisan sosial tetap menjadi bagian integral dari karakter bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, dalam bentuk apapun yang sesuai dengan dinamika zaman.