MENANGGULANGI FENOMENA #KaburAjaDulu DENGAN PENGUATAN NILAI PANCASILA

Oleh : Angel Sofiyanita Br Tarigan, Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Ganesha

Di tengah dinamika sosial yang terus bergerak, muncul sebuah tagar yang sempat ramai di media sosial: #KaburAjaDulu. Ungkapan ini menjadi ekspresi populer di kalangan anak muda Indonesia yang merasa jenuh, lelah, dan kecewa terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi di tanah air. Bagi sebagian besar dari mereka, meninggalkan Indonesia sementara atau bahkan untuk selamanya terasa lebih menjanjikan daripada bertahan dalam ketidakpastian.

Tagar ini bukan semata-mata guyonan atau tren sesaat. Ia adalah refleksi dari kekecewaan kolektif yang terpendam lama. Dalam sorotan kamera media sosial, kita melihat generasi yang mulai mempertanyakan: apakah negeri ini masih layak untuk diperjuangkan?

#KaburAjaDulu: Sindiran atau Seruan Minta Didengar?

Banyak yang menyalahkan generasi muda karena dianggap kurang nasionalis, manja, dan tidak tahan banting. Padahal, jika dilihat dari sisi lain, tagar ini adalah bentuk kritik sosial yang dalam. Menurut Dr. Hempri Suyatna dari Universitas Gadjah Mada, #KaburAjaDulu adalah sindiran tajam terhadap absennya negara dalam menyediakan solusi nyata bagi problematika generasi muda.

Biaya pendidikan yang tinggi, lapangan pekerjaan yang sempit, hingga ketidakjelasan arah kebijakan publik menjadi alasan mengapa sebagian anak muda merasa “tidak lagi memiliki rumah” di negeri sendiri. Maka, ide untuk pergi — kabur ke luar negeri, bekerja atau menimba ilmu di tempat yang dianggap lebih menjanjikan — menjadi logis, bahkan strategis bagi mereka.

Namun, apakah benar satu-satunya jalan keluar adalah dengan pergi? Atau justru inilah momen bagi kita untuk kembali menengok fondasi bangsa yang telah terbukti menyatukan Indonesia sejak awal berdiri: Pancasila.

Pancasila: Lebih dari Sekadar Slogan

Pancasila sering kali hanya hadir di momen-momen formal: upacara, pelajaran sekolah, atau pidato pejabat. Namun jarang benar-benar hadir dalam kebijakan, perilaku, dan budaya sehari-hari. Akibatnya, banyak anak muda yang merasa nilai-nilai Pancasila tidak relevan, bahkan sekadar slogan kosong.

Padahal, bila dipahami lebih dalam, Pancasila memuat nilai-nilai fundamental yang justru sangat dibutuhkan dalam menjawab keresahan hari ini. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, misalnya, menegaskan pentingnya perlakuan yang setara dan adil bagi seluruh warga negara — tanpa pandang latar belakang. Persatuan Indonesia menjadi penawar bagi polarisasi dan konflik horizontal yang makin tajam. Dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah janji utama negara kepada rakyatnya: bahwa semua orang berhak hidup sejahtera di tanahnya sendiri.

Pancasila bukan hanya warisan sejarah, tetapi peta jalan menuju masa depan yang lebih baik, jika benar-benar dihidupkan dalam praktik.

Revitalisasi Pancasila: Dari Ruang Kelas ke Kehidupan Nyata

Agar Pancasila kembali bermakna bagi generasi muda, kita perlu melakukan revitalisasi nilai. Artinya, membawa kembali Pancasila ke dalam ruang-ruang yang nyata dan relevan dengan kehidupan anak muda hari ini.

  1. Pendidikan Kewarganegaraan yang Kritis dan Konstekstual
    Pendidikan Pancasila harus melampaui hafalan. Anak muda perlu diajak berpikir kritis, berdiskusi tentang realita sosial, serta menelusuri bagaimana nilai-nilai Pancasila bisa menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi — dari pengangguran, krisis lingkungan, hingga korupsi.
  2. Program Sosial dan Komunitas
    Melibatkan generasi muda dalam proyek sosial seperti pengabdian masyarakat, pemberdayaan UMKM lokal, atau gerakan lingkungan akan membuat mereka memahami pentingnya solidaritas, kerja kolektif, dan kontribusi nyata. Di sinilah nilai kemanusiaan dan keadilan sosial benar-benar bisa dirasakan.
  3. Keteladanan dari Pemimpin dan Institusi
    Anak muda tidak hanya belajar dari buku, tetapi dari contoh. Ketika melihat pemimpin yang korup, sistem yang tidak adil, dan birokrasi yang lamban, maka nilai Pancasila kehilangan maknanya. Sebaliknya, jika institusi negara menampilkan integritas dan keberpihakan, kepercayaan publik akan tumbuh.

Membangun Ekosistem yang Ramah Anak Muda

Penguatan nilai Pancasila juga harus dibarengi dengan pembangunan ekosistem sosial-ekonomi yang mendukung. Tidak cukup hanya mendorong cinta tanah air, jika negara tidak menciptakan ruang untuk anak muda berkembang.

Pemerintah dan sektor swasta perlu:

  • Membuka akses lapangan kerja yang layak, bukan hanya mempermudah investasi asing tapi mengabaikan hak pekerja lokal.
  • Memberikan insentif untuk inovasi dan kewirausahaan muda, agar ide-ide kreatif bisa tumbuh di dalam negeri.
  • Memperluas akses pendidikan berkualitas tanpa membebani mahasiswa dengan biaya tinggi.

Jika ekosistem ini bisa dibangun, maka “kabur” tidak lagi menjadi pilihan utama. Sebaliknya, anak muda akan merasa bahwa Indonesia adalah tempat yang layak untuk dihidupi dan diperjuangkan.

Penutup: Kita Butuh Jalan Pulang, Bukan Tiket Pergi

Fenomena #KaburAjaDulu bukanlah sekadar ungkapan putus asa, tapi tanda bahwa generasi muda sedang kehilangan rasa memiliki terhadap tanah airnya. Ini alarm yang tidak bisa diabaikan. Bila kita gagal menjawab, maka bangsa ini akan kehilangan sumber daya terpentingnya yaitu generasi muda yang berani, cerdas, dan penuh potensi.

Kita tidak bisa hanya meminta mereka mencintai Indonesia. Kita juga harus menciptakan Indonesia yang pantas dicintai. Dan itu bisa dimulai dengan satu langkah sederhana namun mendasar: menghidupkan kembali Pancasila dalam kehidupan nyata di kelas atau lingkungan belajar, di kantor, di kebijakan, dan dalam cara kita saling memperlakukan satu sama lain sebagai sesama warga negara.

Bangun, jangan kabur. Karena Indonesia tidak akan menjadi lebih baik jika ditinggalkan. Ia akan menjadi lebih baik jika diperjuangkan bersama.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *