Oleh : Akbar Mujadid Nusantara, Kader himpunan mahasiswa Islam komisariat hukum Untirta
Gelombang aksi demonstrasi massa semangkin meningkat dan menyebar keseluruh wilayah di negeri, hal ini terjadi karena berangkat dari dinamika politik yang kian memanas, Suara rakyat yang turun ke jalan tidak sekadar mengungkapkan ketidakpuasan, tetapi juga menegaskan hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Di tengah situasi ini, wacana penerapan darurat militer kembali mencuat sebagai “jalan keluar” yang ditawarkan sebagian kalangan untuk meredam ketegangan. Namun, pertanyaan mendasar pun muncul: apakah darurat militer benar-benar solusi, atau justru ancaman yang dapat melumpuhkan sendi-sendi demokrasi?
Sikap yang perlu ditegaskan ialah penolakan terhadap gagasan militerisasi ruang publik. Penerapan darurat militer dalam konteks aksi massa dan ketegangan politik bukan hanya berlebihan, tetapi juga berpotensi menyalahi prinsip konstitusi. Lebih jauh, kebijakan semacam ini dapat merampas hak rakyat untuk bersuara, membungkam ruang publik, serta mengikis legitimasi negara di hadapan warganya sendiri.
Darurat Militer dalam Perspektif Konstitus
Darurat Militer bukan hanya sekedar istilah sembarangan tetapi dalam tata hukum Indonesia, darurat militer diatur dalam Undang-Undang dasar 1945 yang merupakan konstitusi negara ini, pada pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 Presiden berhak memnyatakan sistuasi bahaya, Ketentuan tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang menjelaskan bahwa darurat militer hanya dapat diberlakukan dalam kondisi luar biasa misalnya pemberontakan bersenjata, agresi asing, atau situasi yang benar-benar mengancam keutuhan negara.
Artinya, darurat militer bukan instrumen politik yang bisa digunakan secara serampangan untuk meredam protes rakyat. Menyamakan aksi massa dengan ancaman pemberontakan jelas merupakan penyimpangan tafsir terhadap konstitusi. Penerapan darurat militer di luar koridor hukum yang semestinya tidak hanya mencederai prinsip demokrasi, tetapi juga membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Lebih jauh, penggunaan pendekatan militer dalam menghadapi dinamika politik sipil justru mengaburkan batas antara keamanan negara dan ekspresi demokratis warga. Negara seolah-olah menganggap rakyat sebagai musuh, padahal rakyatlah pemegang kedaulatan yang sah. Di titik inilah wacana darurat militer menunjukkan watak regresifnya: ia bukan solusi, melainkan ancaman bagi demokrasi yang seharusnya dijaga.
Rakyat sebagai Pemegang Kedaulatan
Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Prinsip ini termaktub jelas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, aksi massa bukanlah ancaman terhadap negara, melainkan perwujudan nyata dari kedaulatan itu sendiri.
Demonstrasi, unjuk rasa, dan kritik publik adalah ekspresi sah dari partisipasi politik warga. Ketika rakyat turun ke jalan, mereka sesungguhnya sedang menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah fungsi yang tak pernah bisa sepenuhnya digantikan oleh lembaga formal negara. Menyamakan suara rakyat dengan ancaman keamanan jelas merupakan pengingkaran terhadap hak konstitusional sekaligus pelecehan terhadap esensi demokrasi.
Ancaman darurat militer yang diarahkan pada situasi protes sipil justru menempatkan rakyat sebagai musuh negara. Narasi ini berbahaya, sebab mengaburkan garis pemisah antara kedaulatan rakyat dengan kekuasaan negara. Pada akhirnya, bukan hanya aspirasi yang dibungkam, tetapi juga legitimasi kekuasaan yang tergerus. Negara akan kehilangan kepercayaan publik ketika memilih jalan represi ketimbang membuka ruang dialog.
Ruang Publik sebagai Arena Demokrasi
Ruang publik adalah jantung dari demokrasi. Di sanalah rakyat mengekspresikan gagasan, menyampaikan kritik, dan membangun solidaritas sosial. Sejak awal reformasi, ruang publik di Indonesia mulai terbuka sebagai arena artikulasi suara rakyat setelah puluhan tahun dikebiri oleh rezim otoritarian. Namun, wacana darurat militer justru mengancam capaian itu dengan cara mengembalikan logika represi ke tengah masyarakat.
Ketika militerisasi hadir di ruang publik, makna demokrasi menjadi terdistorsi. Ruang yang seharusnya diisi dengan debat, orasi, dan aspirasi berubah menjadi arena kontrol yang menakutkan. Kehadiran tentara di jalan bukan lagi sebagai penjaga kedaulatan dari ancaman eksternal, melainkan sebagai alat domestikasi rakyat sendiri. Situasi ini tidak hanya membungkam suara kritis, tetapi juga menormalisasi represi sebagai sesuatu yang “wajar.”
Dalam jangka panjang, pengosongan ruang publik melalui darurat militer akan melahirkan generasi yang apatis terhadap demokrasi. Ketika rakyat tidak lagi merasa aman untuk berbicara, maka partisipasi publik perlahan mati. Demokrasi yang kehilangan ruang publik pada dasarnya hanyalah demokrasi yang tinggal nama.
Hak Konstitusional yang Terancam
Konstitusi Indonesia menjamin hak-hak dasar warga negara yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun, kecuali dalam kondisi luar biasa yang diatur secara ketat. Pasal 28E UUD 1945 menegaskan kebebasan setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28F memberikan hak untuk memperoleh dan menyampaikan informasi. Hak-hak ini adalah fondasi dari kehidupan demokratis yang sehat.
Penerapan darurat militer dalam konteks aksi massa jelas berpotensi melanggar jaminan tersebut. Darurat militer memberi kewenangan luas kepada aparat untuk melakukan pembatasan, termasuk pelarangan kegiatan publik, pembredelan media, hingga penangkapan tanpa proses hukum yang proporsional. Semua ini akan melumpuhkan hak-hak konstitusional rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara, bukan sebaliknya.
Lebih jauh, dalam praktiknya darurat militer hampir selalu diikuti dengan potensi pelanggaran hak asasi manusia. Pengalaman sejarah Indonesia menunjukkan bahwa keadaan darurat kerap menjadi dalih untuk melegitimasi tindakan represif. Ketika ruang hukum sipil digantikan oleh logika militer, maka jaminan hak-hak warga otomatis berada dalam posisi terancam.
Dengan demikian, wacana darurat militer bukan hanya soal prosedur hukum, melainkan juga soal bagaimana negara memperlakukan warganya. Mengabaikan hak konstitusional rakyat demi stabilitas semu sama saja dengan meruntuhkan demokrasi dari dalam.
Alternatif Solusi
Darurat militer bukanlah jawaban atas gejolak politik dan aksi massa. Justru penerapannya akan memperlebar jurang antara rakyat dan negara. Yang dibutuhkan bukan represi, melainkan pendekatan politik yang menjunjung tinggi demokrasi.
Pertama, pemerintah perlu mengedepankan dialog dan komunikasi publik. Suara rakyat yang turun ke jalan harus dilihat sebagai bentuk partisipasi politik, bukan ancaman. Membuka ruang dialog akan jauh lebih efektif dalam meredakan ketegangan dibanding mengerahkan aparat bersenjata.
Kedua, penguatan institusi sipil mutlak diperlukan. Polisi, lembaga pengawas, dan mekanisme peradilan sipil harus diberdayakan untuk menangani dinamika sosial-politik sesuai dengan hukum yang berlaku. Menggeser fungsi ini ke tangan militer hanya akan melemahkan demokrasi.
Ketiga, negara harus menjamin ruang aman bagi kebebasan berekspresi. Penjaminan ini bukan berarti membiarkan anarki, melainkan memastikan bahwa hak rakyat untuk bersuara dilindungi, sementara pelanggaran hukum ditangani secara proporsional.
Dengan mengedepankan dialog, memperkuat institusi sipil, dan melindungi ruang publik, negara dapat meredakan konflik tanpa harus mengorbankan demokrasi. Stabilitas sejati tidak lahir dari represi, tetapi dari legitimasi yang diperoleh melalui kepercayaan rakyat.
Penutup
Wacana darurat militer yang mengemuka di tengah gelombang aksi massa memperlihatkan kecenderungan berbahaya: ketidakmampuan negara mengelola demokrasi dengan pendekatan sipil. Alih-alih mencari solusi politik yang menghormati aspirasi rakyat, ancaman militerisasi justru menggeser logika negara dari pelayan rakyat menjadi penguasa yang menakutkan.
Harus ditegaskan, darurat militer bukanlah jawaban. Ia hanya akan membungkam ruang publik, menggerus hak konstitusional, dan merusak legitimasi kekuasaan itu sendiri. Demokrasi tidak boleh dikorbankan atas nama stabilitas semu, sebab stabilitas sejati lahir dari keterlibatan rakyat dan penghormatan terhadap hukum.
Kini, pilihan ada di tangan negara: apakah akan berdiri di sisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, atau justru menghadapinya dengan bayonet. Sejarah telah membuktikan, kekuasaan yang bertahan adalah kekuasaan yang berpihak pada rakyat, bukan yang menindasnya.