Oleh: I Kadek Ergi Pramana Jaya, Prodi S1 Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Ganesha
Transformasi pendidikan di Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan serius, yakni semakin memudarnya dasar moralitas yang seharusnya bersumber dari nilai-nilai Pancasila. Orientasi sistem pendidikan yang mengutamakan perkembangan teknologi dan persaingan global sering kali mengesampingkan aspek penting berupa pendidikan moral dan pembentukan karakter. Konsekuensinya, kondisi moral generasi muda kian memprihatinkan, tercermin dari maraknya fenomena sosial negatif seperti intoleransi, sikap individualistis, dan rendahnya kepekaan terhadap keadilan sosial.
Menurut Pakar Pendidikan dan Politik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr. Sita Subadra menjabarkan, revolusi industri 4.0 memang membawa dinamika baru dalam sistem pendidikan dan dunia kerja, namun keduanya tetap harus berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Ia menegaskan pentingnya pembangunan pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila sebagai upaya menjaga ketahanan moral bangsa di tengah derasnya pengaruh globalisasi yang berpotensi merusak. Dalam pandangannya, penguatan karakter melalui pendidikan yang berakar pada Pancasila akan mencetak generasi yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga beretika dan menjunjung budaya luhur bangsa. “Kemajuan industri tak akan berarti tanpa karakter moral yang kuat,” tuturnya.
Sejalan dengan itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia menyadari pentingnya penguatan pendidikan nilai Pancasila dalam kurikulum nasional. Dalam kebijakan terbarunya, Kementerian mendorong internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam proses pembelajaran melalui pendekatan langsung dan tidak langsung, baik di dalam maupun di luar kelas. Langkah ini diharapkan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang tidak hanya berilmu, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Pemerintah pun tengah mengarahkan perubahan tata kelola pendidikan agar selaras dengan visi pendidikan berkarakter Pancasila, yang menyatu dalam seluruh aspek kegiatan pembelajaran.
Pengamat Sosial-Politik dari Lembaga Kajian Strategis Indonesia, Dr. Andi Prasetyo, juga menyoroti bahwa lemahnya pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan turut memicu meningkatnya konflik sosial dan perpecahan dalam masyarakat. Ia mengingatkan bahwa Pancasila bukan sekadar dokumen formal negara, melainkan sumber etika kehidupan berbangsa yang wajib dihidupkan dalam praktik sehari-hari. “Ketika sistem pendidikan gagal menanamkan nilai-nilai Pancasila, bangsa ini akan kehilangan identitas dan terjerumus dalam perpecahan sosial,” ujarnya. Ia juga menyarankan agar pemerintah menghidupkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi, sebagai bentuk nyata dari upaya memperkuat moderasi beragama dan semangat toleransi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga turut memberikan perhatian terhadap isu ini. Dalam berbagai pernyataannya, MPR menekankan bahwa pendidikan yang berlandaskan Pancasila merupakan kunci dalam menjaga keutuhan dan persatuan bangsa. Menurut MPR, Pancasila harus dijadikan pedoman utama dalam seluruh sektor kehidupan, terutama dalam dunia pendidikan. Tanpa penguatan nilai ideologis yang kokoh, bangsa ini akan mudah terpecah belah oleh berbagai kepentingan yang tidak sejalan dengan semangat kebangsaan.
Menghadapi krisis moralitas ini, diperlukan reformasi kebijakan publik yang secara tegas memperkuat pendidikan berbasis Pancasila sebagai fondasi utama pembentukan karakter generasi muda. Salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan adalah menyatukan pendidikan moral Pancasila secara holistik ke dalam seluruh mata pelajaran dan aktivitas sekolah. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila tidak hanya diajarkan, tetapi juga dihidupkan dalam keseharian peserta didik melalui metode pembelajaran yang aplikatif, reflektif, dan berkelanjutan.
Di sisi lain, peningkatan kualitas pendidik menjadi faktor krusial. Guru sebagai agen moral dan transformasi sosial perlu dibekali dengan pelatihan mendalam yang mengintegrasikan pedagogi nilai-nilai Pancasila. Mereka harus mampu menciptakan iklim sekolah yang mendukung tumbuhnya karakter positif seperti toleransi, gotong royong, dan kedisiplinan. Program seperti “Sekolah Ramah Nilai Pancasila” dapat menjadi salah satu pendekatan untuk membentuk lingkungan belajar yang berpihak pada kemanusiaan, demokrasi, dan kebhinekaan, melalui kegiatan ekstrakurikuler, projek sosial, dan budaya sekolah yang berorientasi pada nilai-nilai luhur.
Selain itu, perkembangan teknologi informasi juga harus dimanfaatkan untuk memperkuat pendidikan karakter. Pemerintah bersama lembaga pendidikan dapat mengembangkan media digital yang edukatif dan interaktif guna menyampaikan materi nilai-nilai Pancasila secara menarik kepada generasi digital. Pendidikan juga harus diarahkan pada penguatan sikap inklusif dan toleran sebagai bagian dari moderasi beragama, guna menekan potensi konflik dan memperkuat semangat persatuan. Integrasi antara kurikulum, pendidik, lingkungan belajar, dan teknologi akan menjadi landasan penting dalam membentuk generasi penerus yang unggul secara akademik dan kokoh secara moral.
Dampak positif dari kebijakan ini diharapkan dapat mengembalikan arah moralitas bangsa, mempererat solidaritas sosial, serta mencetak insan-insan muda yang tidak hanya kompeten dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki integritas dan kepedulian sosial tinggi. Dengan begitu, revolusi pendidikan yang sedang berlangsung akan benar-benar menghasilkan manusia Indonesia yang utuh, berkarakter kuat, dan siap bersaing secara global tanpa kehilangan identitas bangsanya.
Sebagai bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia harus memastikan bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan juga sebagai sarana strategis dalam pembentukan karakter dan nilai moral. Apabila aspek moralitas ini terus diabaikan, maka revolusi pendidikan berisiko menjauhkan bangsa ini dari cita-cita luhur para pendiri negara, dan generasi mendatang akan tumbuh tanpa arah yang jelas.