Ditulis oleh : moh rafa Arabiey
Pesantren seringkali dipahami hanya sebagai lembaga pendidikan agama yang berisi kajian kitab kuning dan aktivitas keagamaan semata. Namun, pandangan ini jelas terlalu sempit. Bagi para santri dan mereka yang pernah mengalaminya, pesantren adalah madrasah kehidupan yang tak tergantikan. Pesantren bukan hanya tempat mencari ilmu, tetapi tempat menempa mental, adab, kemandirian, dan kebijaksanaan hidup.
Abah Yai KH. Ahmad Junaidi Hidayat dalam banyak kesempatan selalu menegaskan bahwa pesantren adalah madrasah kehidupan. Sebuah ruang pendidikan yang tidak hanya mengajarkan teks, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara hidup. Dalam pesantren, santri dididik untuk memahami realitas, menyelesaikan konflik, membangun solidaritas, dan menghadapi kerasnya hidup dengan tetap menjaga akhlak.
Pesantren menjadi ruang pembelajaran yang alami. Bangun pagi, berebut air wudhu, makan bersama, menjaga kebersihan kamar, hingga menghadapi dinamika organisasi adalah bagian dari pelajaran yang membentuk karakter tanpa disadari. Sistem pendidikan di pesantren mengajarkan nilai kesabaran, keikhlasan, dan tanggung jawab. Ketika seorang santri mendapat tugas kebersihan, memimpin doa, atau menjadi pengurus, ia sedang belajar menjadi pemimpin dan melayani orang lain. Santri didorong untuk mandiri, berpikir kritis, dan peka terhadap sesama. Semua ini menjadi bekal luar biasa saat mereka terjun di tengah masyarakat.
Di antara pesantren yang berhasil mewujudkan konsep madrasah kehidupan secara kompleks adalah Pondok Pesantren Zainul Anwar Alassumur Kulon Kraksaan Probolinggo. Didirikan pada tahun 1964 oleh KH. Abdullah Mughni, pesantren ini memiliki sistem pendidikan yang lengkap, mulai dari PAUD hingga ALIYAH, serta program tahfidz dan madrasah diniyah. Kehidupan santri di pondok ini penuh dengan aktivitas yang membentuk mental dan karakter. Santri belajar kerja bakti, dzikir berjamaah, dan berorganisasi dalam berbagai kegiatan internal pesantren, yang membentuk solidaritas dan tanggung jawab sosial.
Pondok Pesantren Al Mashduqiah di Patokan Probolinggo juga menjadi contoh bagaimana pesantren menjadi madrasah kehidupan yang berdaya saing. Berdiri di atas lahan yang luas, Al Mashduqiah tidak hanya fokus pada pendidikan kitab kuning, tetapi juga mengembangkan jiwa kewirausahaan para santri. Santri dilatih mengelola koperasi, usaha tahu, dan jasa pelayanan. Lingkungan pondok yang mendorong kreativitas ini menumbuhkan kemandirian ekonomi sejak dini, membentuk santri yang siap berkompetisi dalam dunia nyata.
Sementara itu, Pondok Pesantren Al Aqobah International School di Diwek Jombang menjadi contoh pesantren yang memadukan tradisi klasik dengan modernitas global. Al Aqobah menerapkan sistem pembelajaran bilingual (Arab, Inggris, dan Indonesia), memanfaatkan teknologi seperti laptop dan internet dalam proses belajar, tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisi. Santri di Al Aqobah dididik agar mampu menghadapi dinamika dunia global, sekaligus tetap teguh dalam adab dan akhlak. Abah Yai KH. Ahmad Junaidi Hidayat sering menekankan bahwa inilah esensi madrasah kehidupan: santri harus cakap dalam ilmu agama, teknologi, dan sosial, namun tetap menjadi pribadi yang rendah hati dan bermanfaat.
Pesantren juga mengajarkan pentingnya keseimbangan antara ilmu dan adab. Sebagaimana pepatah pesantren, “Al-adabu fauqal ‘ilmi” (adab itu di atas ilmu). Inilah yang menjadikan lulusan pesantren tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual. Mereka diajarkan bahwa ilmu tanpa adab hanyalah kesombongan, dan adab tanpa ilmu adalah kekosongan.
Kehidupan di pesantren pun sangat relevan dalam menyiapkan generasi yang siap menghadapi tantangan zaman. Di tengah derasnya arus globalisasi dan individualisme, pesantren tetap mampu menanamkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan cinta tanah air. Santri terbiasa hidup sederhana, bersosialisasi, dan menghadapi keterbatasan dengan sikap lapang dada.
Dalam konteks berbangsa, pengalaman hidup di pesantren menjadi modal penting untuk mengabdi di berbagai bidang, termasuk pemerintahan, pendidikan, dan sosial. Santri yang lahir dari rahim pesantren membawa bekal moral yang kuat untuk membangun bangsa dengan jujur dan amanah.
Pesantren adalah ruang penggemblengan yang mungkin terlihat keras, tetapi justru di sanalah kemandirian, ketangguhan, dan keikhlasan tumbuh subur. Abah Yai KH. Ahmad Junaidi Hidayat sering menegaskan, “Pesantren adalah miniatur kehidupan, jika kita berhasil di pesantren, insyaAllah kita akan kuat menghadapi kehidupan nyata.”
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi kawah candradimuka yang membentuk manusia seutuhnya. Tempat di mana karakter, mental, dan spiritual diasah untuk melahirkan generasi yang berilmu, beradab, dan siap menjadi pemimpin masa depan.