Ribuan WNI Jadi Korban Perdagangan Orang di Kamboja: Negara Tidak Boleh Terus Terlambat

Oleh : Ahmad Taufiqurrochman, Email : taufiqurrochmana@gmail.com

Beberapa waktu lalu, Kementerian Luar Negeri RI kembali memulangkan puluhan WNI korban perdagangan orang dari Kamboja. Mereka menjadi bagian dari lebih dari 700 warga negara Indonesia yang telah berhasil diselamatkan dari praktik eksploitasi kerja paksa di negara tersebut sejak 2023. Modusnya klasik: tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi sebagai staf IT atau customer service, tetapi realitasnya justru disekap dan dieksploitasi oleh sindikat penipuan daring.

Yang menjadi keprihatinan, ini bukan kasus pertama — dan tampaknya juga bukan yang terakhir. Selama 2023 hingga awal 2024, data Kemlu mencatat lebih dari 1.300 WNI menjadi korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) di kawasan Asia Tenggara, dengan mayoritas kasus terjadi di Kamboja, Myanmar, dan Laos. Negara tampaknya selalu hadir ketika semuanya sudah terlambat.

Gambar 1YouTube : Nessie Judge/ Rangkuman Kasus WNI di Kamboja

Menjadi Korban di Negeri Orang

Kebanyakan dari para korban adalah anak-anak muda, usia 18–30 tahun, berasal dari wilayah dengan lapangan kerja minim. Mereka direkrut melalui media sosial, aplikasi percakapan, atau rekomendasi teman yang lebih dulu berangkat. Iming-imingnya seragam: kerja mudah, penghasilan tinggi, akomodasi dan tiket ditanggung.

Sesampainya di lokasi, mereka langsung kehilangan kendali atas hidup mereka. Paspor disita. Komunikasi dibatasi. Mereka dipaksa menjalankan praktik penipuan daring lintas negara, mengincar korban dari Eropa, Amerika Serikat, hingga Asia Timur. Mereka yang tidak menuruti perintah kerap mengalami kekerasan fisik, bahkan dijual ke sindikat lain. Ini adalah wajah baru dari perbudakan modern. Yang berubah hanyalah teknologi dan lokasi.

Repatriasi Bukan Jawaban Jangka Panjang

Kita patut mengapresiasi kerja keras Kementerian Luar Negeri, BP2MI, dan aparat penegak hukum dalam upaya penyelamatan dan pemulangan korban. Namun kita juga tak bisa terus mengandalkan respons reaktif. Repatriasi penting, tapi tidak menyentuh akar persoalan.

Masalah utama ada di hulu: lemahnya pencegahan dan literasi migrasi. Hingga kini, lebih dari 10 ribu WNI dipulangkan dari luar negeri karena status sebagai pekerja non-prosedural, menurut data BP2MI. Banyak dari mereka tidak memahami prosedur kerja resmi ke luar negeri, atau tidak tahu bahwa jalur yang mereka ambil ilegal.

Belum lagi, agen perekrut — yang menjadi kaki tangan sindikat di dalam negeri — kerap lolos dari jerat hukum. Padahal mereka adalah gerbang awal dari seluruh rantai perdagangan manusia.

Sindikat Internasional, Tetapi Rekrutan Tetap dari Indonesia

Laporan IOM (International Organization for Migration) 2023 menyebut bahwa sindikat perdagangan orang saat ini sudah bersifat transnasional dan terorganisir. Mereka memiliki pusat operasi di kota-kota seperti Sihanoukville, Bavet (Kamboja), serta beberapa wilayah di Myanmar dan Laos. Dari tempat inilah ratusan korban dipaksa bekerja menipu orang dari berbagai negara.

Indonesia menjadi target utama rekrutmen karena sejumlah alasan: banyaknya tenaga kerja muda yang menganggur, lemahnya literasi digital dan hukum migrasi, serta adanya celah hukum yang belum ditutup. Ironisnya, hukum kita sebenarnya sudah punya senjata, yakni UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Tapi implementasinya masih tambal sulam.

Menurut Kemenko PMK, hanya sekitar 30% laporan kasus TPPO yang benar-benar masuk proses hukum hingga vonis. Selebihnya? Mandek. Bahkan korban kerap kali takut melapor karena takut disalahkan atau diintimidasi agen.

Negara Harus Hadir Lebih Awal

Jika negara ingin benar-benar menyelesaikan persoalan ini, maka ada beberapa langkah mendesak yang tak bisa ditunda:

1. Edukasi besar-besaran soal migrasi aman, bukan hanya lewat seminar di kota besar, tapi lewat desa, pesantren, sekolah kejuruan, dan komunitas lokal. Anak-anak muda harus tahu mana tawaran kerja yang masuk akal dan mana yang mencurigakan.

2. Sistem pelaporan dini dan pemantauan keberangkatan WNI harus diperkuat, terutama untuk yang hendak pergi ke negara-negara rawan. Kolaborasi antara imigrasi, pemerintah daerah, dan BP2MI harus dibuat real-time dan berbasis data.

3. Tindakan hukum terhadap agen perekrut ilegal harus diperjelas dan ditegakkan dengan serius. Tak bisa lagi dibiarkan mereka beroperasi leluasa, merekrut korban baru setiap hari.

4. Diplomasi internasional harus lebih tegas dan proaktif, terutama dengan negara-negara yang menjadi lokasi operasi sindikat. Kerja sama penegakan hukum lintas batas bukan pilihan, tapi keharusan.

Jangan Salahkan Korban

Sering kali, narasi yang berkembang di masyarakat justru menyudutkan korban: “Kenapa mau kerja ke luar negeri tanpa izin?”, “Kenapa tergoda tawaran yang tidak masuk akal?”

Kita lupa bahwa di balik keputusan mereka, ada keterbatasan ekonomi, ketidaktahuan, dan minimnya pilihan hidup. Tugas negara bukan menyalahkan, tapi melindungi. Kalau pun ada kesalahan prosedur, itu tak bisa menghapus status mereka sebagai korban eksploitasi — bukan pelaku kriminal.

Konstitusi Indonesia tegas: negara bertanggung jawab melindungi segenap warga negara. Itu termasuk mereka yang tertipu dan terjebak dalam jaringan perdagangan manusia.

Gambar 2YouTube: tvOneNews

Jangan Menjadi Penonton Tragedi yang Berulang

Jika hari ini kita masih membiarkan ratusan bahkan ribuan anak muda Indonesia menjadi komoditas dalam bisnis gelap bernama perdagangan orang, maka kita sedang gagal menjadi negara yang berpihak pada rakyatnya. Perdagangan manusia bukan sekadar urusan hukum. Ia adalah cermin dari ketimpangan, ketidakhadiran negara, dan lemahnya keadilan sosial. Kita tidak boleh lagi jadi penonton tragedi yang berulang.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *