Oleh : Kurnia Gischa Tristiya / Mahasiswa Prodi Administrasi Publik, Universitas Negeri Yogyakarta
Ketimpangan sosial terus menjadi bayang-bayang dalam kehidupan yang penuh hiruk-pikuk di negara Indonesia. Isu ini tak hanya dirasakan oleh orang dewasa saja yang ke sana ke mari membahas seputar ekonomi, lapangan pekerjaan, maupun harga kebutuhan pokok. Namun, hal ini justru juga menyelimuti perkembangan anak-anak yang di mana seharusnya bisa merasakan manisnya sebuah pendidikan dengan kolaborasi berbagai metode eksplorasi ilmu, justru terpaksa harus menelan mentah-mentah kenyataan jika mereka turut menanggung dampaknya dalam perihal pendidikan. Anak-anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu sering kali sulit mengakses dunia pendidikan yang berkualitas. Tak luput, apabila faktor kemiskinan menjadi tolak ukur rendahnya angka partisipasi pendidikan. Anak-anak dari keluarga kurang mampu memang lebih rentan mengalami putus sekolah.
Urgensi Sekolah Rakyat
Melihat isu pendidikan yang kian hari belum ditemukan obat dalam menyembuhkan bagian yang “sakit”, akhirnya beberapa waktu yang lalu pemerintah mendirikan sekolah rakyat yang dinilai sebagai program untuk menekan angka putus sekolah. Sekolah rakyat ini merupakan program Prabowo Subianto yang di mana Kementerian Sosial merupakan penanggung jawab pelaksanaan. Sekolah rakyat ini diinisiasi pemerintah untuk memeratakan akses pendidikan supaya anak-anak dari keluarga kurang mampu juga dapat mewarnai pendidikan Indonesia. Program ini memang dirancang pemerintah secara gratis untuk masyarakat yang dilengkapi dengan asrama dan fasilitas pendukung dalam pembelajaran. Selain pendidikan akademik, sekolah rakyat ini tentunya juga mengajarkan kepada setiap siswanya untuk menumbuhkan kepribadian yang bermoral dalam diri. Maksud dari hal tersebut, tanpa adanya penanaman moral yang kuat dalam siswa, adanya kecerdasan akademik yang terus dibina dapat berpotensi tidak memberi manfaat yang optimal bagi masyarakat yang mengikuti. Dengan kata lain, dalam sekolah rakyat ini selain untuk membekali para siswa untuk masuk dalam dunia kerja, para siswa juga diajarkan untuk mendirikan moral sebagai fondasi supaya ilmu yang disalurkan dapat digunakan secara bertanggung jawab dan bijak.
Hadirnya sekolah rakyat digadang-gadang dapat menghapus siklus kemiskinan yang terus berulang pada generasi lanjutan. Anak-anak dari keluarga kurang mampu cenderung memiliki kesempatan kerja yang sangat terbatas. Dunia kerja sekarang kebanyakan telah menerapkan persyaratan bagi calon pekerja dengan menempuh pendidikan tinggi dalam kualifikasi supaya mereka berkompeten dalam hal yang akan dibidangi. Maka dari itu, akses pendidikan bermutu dapat memperbaiki kondisi hidup para generasi muda yang dalam jangka panjang generasi akan terdidik menjadi pekerja yang produktif. Sekolah rakyat ini didesaian sebagai solusi yang inklusif dalam bidang pendidikan untuk memperbaiki ketimpangan sosial supaya anak-anak dari keluarga kurang mampu dapat memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang karena pendidikan yang merata ini merupakan pilar krusial bagi masa depan bangsa.
Sekolah Rakyat VS Stigma Sosial
Alih-alih sekolah rakyat dibangun untuk memberikan akses pendidikan bagi keluarga kurang mampu, justru dalam praktiknya sendiri dapat memunculkan stigma sosial yang sebenarnya dapat merugikan para siswanya. Di mana, publik justru akan mulai berpikir apabila solusi seperti ini bukannya mengurangi ketimpangan sosial, tetapi hanya akan menciptakan kembali perbedaan status yang semakin nampak. Jika pemerintah memahami, labelisasi yang diletakan dalam sekolah rakyat berupa pendidikan gratis bagi keluarga kurang mampu ini tanpa disadari sebenarnya hanya memperkuat narasi adanya ketimpangan sosial. Publik bisa saja memberikan penilaian apabila program ini hanya termasuk dalam pendidikan alternatif yang tentunya berbeda dengan pendidikan formal yang berkualitas pada umumnya. Terlintas pula jika para peserta didik dianggap belum cukup memiliki pendidikan yang setara, meskipun dalam realitanya mereka memiliki potensi yang sama dengan sekolah yang lain.
Lebih parahnya lagi, pembangunan program ini akan berpotensi melemahkan rasa percaya diri siswa yang mengenyam pendidikan di sana. Persepsi dari masyarakat yang menganggap anak-anak yang bersekolah di sekolah rakyat ini seolah-olah mengalami perbedaan status sosial antara “si kaya” dan “si miskin”. Anak-anak dari keluarga kurang mampu yang telah merasakan marginalisasi sejak lama sebab kondisi ekonomi, apabila program ini kerap menuai kontra sebagai lembaga pendidikan kelas bawah oleh publik, mereka justru akan terperangkap tak bisa keluar dalam lubang marjinal, baik secara ekonomi maupun pendidikan. Kondisi inilah yang menciptakan bentuk marginalisasi yang kompleks karena pendidikan dirancang untuk menjadi jembatan agar bisa keluar dari kemiskinan justru terhalang oleh persepsi negatif dari masyarakat terhadap pendirian sekolah rakyat ini.
Di samping itu, kebingungan publik mencuat ketika mengetahui bahwa penanggung jawab sekolah rakyat adalah Kementerian Sosial bukanlah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Ironis apabila sekolah rakyat ini merupakan program di luar sistem formal. Melihat hal tersebut, apakah sebenarnya sekolah rakyat ini hanya untuk rehabilitasi sosial memenuhi hak dasar belajar warga negara saja? Di mana mekanismenya bukan untuk menyetarakan akses pendidikan di seluruh Indonesia. Penempatan sekolah rakyat di luar struktur resmi Kementerian Pendidikan ini memperkuat persepsi jika sebenarnya para anak-anak dari keluarga kurang mampu benar-benar kembali terperangkap dalam sistem marginalisasi dan jauh dari harapan penegakan keadilan.
Ke Mana Arah Sekolah Negeri?
Sekolah negeri yang sejak lama menjadi simbol kiblat pendidikan di Indonesia dengan segala problematika sarana prasarana yang belum memadai di beberapa wilayah juga menjadi pemicu pertanyaan pembangunan sekolah rakyat oleh pemerintah. Mengapa perlu ada sekolah rakyat jika sekolah negeri saja belum memiliki fasilitas pendidikan yang baik? Dalam konteks ini, di luaran sana masih terdapat sekolah negeri yang kekurangan fasilitas pembelajaran yang layak, akses internet yang sulit untuk menuju pembelajaran berbasis digitalisasi, serta tenaga pendidik yang berkualitas juga belum merata penyebarannya. Kompleksnya permasalahan pada sekolah negeri saja belum semuanya terselesaikan dengan baik oleh pemerintah. Adanya sekolah rakyat yang digemborkan menjadi obat bagi pendidikan Indonesia, dalam realita yang kritis hanya akan menambah beban perbaikan pendidikan.
Memang, dapat diakui jika sekolah rakyat ini sangat mulia apabila dikelola dengan baik, tetapi apabila masalah di sekolah negeri saja belum habis apakah masih dapat dikatakan sebagai solusi yang tepat mengenai pembangunan pendidikan. Pemerintah seharusnya tidak tergesa-gesa dalam membuat sebuah program maupun kebijakan. Pengkajian secara menyeluruh sangat perlu dilakukan dalam menekan kefatalan sebuah program. Sekolah negeri perlu untuk mendapatkan perhatian perbaikan terlebih dahulu oleh pemerintah agar benar-benar menjadi pilar utama pendidikan. Jika dilogika, apabila sekolah formal saja belum mampu memenuhi kebutuhan para anak didiknya maka upaya pembangunan pendidikan alternatif justru akan menjadi jurang bagi pemerintah sendiri sebab hanya akan menimbulkan ketimpangan kualitas yang semakin melebar.
Sebenarnya, para anak-anak dari keluarga kurang mampu ini dapat memasuki sekolah negeri yang sudah tersedia karena notabene sekolah negeri merupakan sekolah tanpa pungutan biaya. Memang, dalam kenyataanya sekolah negeri masih ditemukan pungutan liar yang terkadang membebani siswa. Dengan hal tersebut, pengawasan dari pemerintah sebaiknya perlu dilakukan dalam memberantas adanya korupsi dalam bidang pendidikan. Reformasi birokrasi dan perbaikan mutu kualitas baik dari sarana prasarana di sekolah negeri apabila dipikir sudah termasuk dalam memajukan pendidikan Indonesia. Akan tetapi, mengapa sekolah rakyat terlihat urgensi untuk didirikan?
Begitupun demikian, anggaran negara yang ada untuk alokasi pendidikan perlu untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah negeri. Apalagi dalam keadaan sekarang terjadi efisiensi anggaran yang bisa mempengaruhi berbagai sektor kehidupan. Selama ini saja sebelum adanya efisiensi, anggaran sekolah lewat APBN maupun dana BOS masih menunjukkan kekurangan dalam proses perbaikan pendidikan. Jika sekolah rakyat sekarang didirikan di tengah efisiensi apakah hal tersebut akan semakin membuat pendidikan di Indonesia menjadi lebih optimal? Tentu saja tidak. Rasa-rasanya hal yang terlihat sepele seperti ini saja tidak dipikirkan matang-matang oleh pemerintah. Dengan demikian, patut untuk mengevaluasi adanya program sekolah rakyat ini yang menuai polemik di dalam keberlangsungannya. Padahal sekarang ini sekolah negeri banyak yang masih kekurangan siswa, sehingga seharusnya dapat diisi oleh anak-anak yang belum mendapatkan bangku sekolah supaya tidak terjadi ketimpangan pendidikan, baik di desa maupun di perkotaan.