Oleh : Ryandra Yusuf Pasha
Di tengah maraknya perbincangan daring yang didominasi oleh isu politik, selebritas, dan sensasi sesaat, ada satu persoalan yang seolah tak pernah berhasil menembus tembok algoritma media sosial yaitu pencemaran sungai. Sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini berubah menjadi saluran limbah terbuka. Salah satu contoh paling nyata adalah Sungai Citarum, yang selama bertahun-tahun menyandang predikat sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Menurut Green Cross Switzerland dan Blacksmith Institute (2013), Sungai Citarum masuk dalam daftar 10 tempat paling tercemar di dunia. Airnya dipenuhi logam berat dari limbah industri tekstil, rumah tangga, dan pertanian. Lebih dari 20 juta orang bergantung pada sungai ini untuk kebutuhan air, tetapi yang mereka dapatkan adalah air beracun yang mengancam kesehatan.
Dampak Yang Nyata, Tapi Tak Terbaca
Pencemaran sungai berdampak langsung pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dari sisi kesehatan, masyarakat di sekitar sungai yang tercemar kerap mengalami penyakit kulit, diare, dan gangguan pernapasan akibat bau dan limbah kimia. Studi dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa wilayah yang terpapar limbah sungai memiliki tingkat kejadian penyakit saluran pencernaan yang lebih tinggi daripada wilayah dengan sungai yang bersih. Secara ekonomi, nelayan tradisional kehilangan mata pencaharian karena ekosistem air tawar rusak. Sektor pertanian pun terancam karena air irigasi yang digunakan sudah tidak layak pakai. Biaya pengolahan air bersih menjadi sangat tinggi bagi pemerintah daerah. Dan dari sisi sosial, masyarakat kehilangan ruang interaksi dan rekreasi yang dulu hidup di tepi sungai. Sungai yang dahulu menjadi tempat anak-anak bermain kini berubah menjadi kubangan sampah dan busa deterjen. Namun mengapa semua ini seolah sunyi? Mengapa narasi seberat ini tak menjadi perhatian utama di ruang digital?
Ketika Algoritma Tak Berpihak pada Lingkungan
Mengapa narasi sebesar ini gagal menembus kesadaran publik? Salah satu alasannya adalah cara kerja algoritma media sosial. Konten yang viral diatur oleh sistem engagement– semakin banyak interaksi, semakin besar kemungkinan muncul di beranda pengguna. Sayangnya, isu lingkungan sering kali kalah pamor dari video lucu, kontroversi selebriti, atau berita politik yang memancing emosi. Selain itu, rendahnya literasi lingkungan masyarakat juga turut andil. Banyak orang tidak menyadari keterkaitan antara sungai kotor dengan kualitas hidup mereka sendiri. Mereka tidak melihat hubungan langsung antara kebiasaan membuang sampah sembarangan dengan banjir yang menenggelamkan rumah mereka. Media arus utama pun tidak luput dari kritik. Isu lingkungan kerap disingkirkan ke rubrik belakang, sementara berita kriminal atau politik lebih sering dipajang di halaman utama. Akibatnya, publik terbiasa menganggap isu pencemaran sungai sebagai sesuatu yang biasa saja sebuah background noise yang tak perlu disikapi serius. Apalagi, literasi lingkungan di Indonesia masih rendah. Survei oleh Katadata Insight Center (2022) menunjukkan bahwa 68% masyarakat Indonesia masih belum memahami isu perubahan iklim dan pencemaran lingkungan secara utuh. Kombinasi antara algoritma yang tidak berpihak dan rendahnya literasi membuat isu sungai yang tercemar seperti berteriak di ruang hampa.
Belajar dari Luar Negeri: Aktivisme yang Menggema
Jika kita menoleh ke negara lain, ada banyak pelajaran yang bisa diambil tentang bagaimana sungai bisa diselamatkan dan dijadikan simbol kebangkitan lingkungan. Salah satunya adalah Sungai Thames di Inggris. Pada tahun 1957, Natural History Museum London menyebut Thames sebagai sungai mati karena polusinya yang ekstrem. Namun berkat kebijakan ketat pemerintah, investasi dalam sistem pengolahan limbah, dan kampanye publik yang masif, Sungai Thames kini menjadi habitat sehat bagi lebih dari 125 spesies ikan. Hal serupa juga terjadi di Korea Selatan melalui proyek revitalisasi Sungai Cheonggyecheon di Seoul. Sungai ini sebelumnya tertutup beton dan menjadi saluran pembuangan. Pemerintah kota mengembalikannya menjadi sungai terbuka, lengkap dengan ruang publik yang ramah lingkungan. Proyek ini tidak hanya menghidupkan kembali lingkungan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warga dan nilai ekonomi wilayah sekitarnya. Dari dua kasus tersebut, kita belajar bahwa narasi yang kuat perlu dikombinasikan dengan identitas lokal, dukungan budaya, dan
strategi komunikasi yang kreatif. Kita belum banyak melihat pendekatan seperti ini dalam gerakan lingkungan di Indonesia.
Harapan dari Akar Rumput: Komunitas dan Aksi Nyata
Meski media nasional dan media sosial sering mengabaikan isu pencemaran sungai, harapan justru lahir dari komunitas lokal. Salah satunya adalah Komunitas Peduli Ciliwung di Jakarta yang sejak 2009 aktif membersihkan bantaran sungai, melakukan edukasi ke sekolah- sekolah, hingga mendorong kolaborasi dengan pemerintah. Di Bandung, Gerakan Citarum Harum menjadi contoh lain bagaimana masyarakat sipil, TNI, dan aktivis lingkungan bersinergi untuk mengembalikan kejayaan Citarum dan Pandawara Group yang merupakan salah satu komunitas pecinta lingkungan yang didirikan di Kopo, Bandung Selatan juga ikut serta melakukan aksi bersih-bersih lebih dari 80 lokasi, termasuk sungai, pantai, dan saluran air lainnya. Meski jalan masih panjang, tetapi kampanye door to door, penanaman pohon, dan sistem pengelolaan limbah terpadu telah mulai menunjukkan hasil. Gerakan seperti ini penting karena mereka mengembalikan narasi sungai kepada masyarakat sebagai pemilik utama. Mereka tidak menunggu viralitas, tetapi bergerak dengan keyakinan bahwa perubahan bisa dimulai dari lingkungan terkecil. Mereka tak punya anggaran besar, tapi punya semangat yang tak habis. Mereka paham bahwa menyuarakan sungai berarti menyelamatkan hidup generasi berikutnya. Namun komunitas tak bisa sendirian. Pemerintah harus lebih serius dalam mengatur sanksi terhadap pencemar sungai, menyediakan infrastruktur pengolahan limbah yang layak, dan mendukung gerakan masyarakat sipil dengan dana serta kebijakan.
Saatnya Kita Bicara Lebih Keras
Sungai bukan hanya jalur air. Ia adalah ruang hidup, sumber sejarah, kebudayaan, dan ekonomi. Jika sungai mati, maka masyarakat sekitarnya pun perlahan kehilangan masa depan. Maka saatnya kita berhenti hanya bersimpati mulailah bersuara. Bersuaralah lewat tulisan, kampanye daring, atau ikut gerakan komunitas. Gunakan kekuatan media sosial untuk membalik algoritma. Ubah narasi sedih menjadi ajakan peduli. Ajak influencer, komunitas kreatif, dan media massa untuk menyuarakan nasib sungai-sungai kita. Narasi lingkungan tak boleh lagi sepi di tengah keramaian digital. Karena sungai butuh suara, bukan hanya simpati. Dan suara itu bisa dimulai dari kamu, dari saya, dari kita semua.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Isu lingkungan, terutama pencemaran sungai, harus dikemas secara lebih kreatif agar mampu bersaing di tengah derasnya konten digital. Berikut beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan:
1. Pendidikan Lingkungan Sejak Dini
Literasi lingkungan harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan dasar. Anak- anak perlu diajarkan tentang pentingnya air bersih, siklus ekosistem, dan dampak pencemaran secara visual dan interaktif.
2. Kampanye Berbasis Komunitas dan Narasi Visual
Konten lingkungan harus dikemas dengan visual menarik, narasi yang menyentuh emosi, dan storytelling berbasis manusia. Mengangkat kisah seorang nelayan yang kehilangan pendapatan bisa lebih menggugah daripada sekadar data pencemaran.
3. Kolaborasi Media dan Influencer
Media dan content creator memiliki peran penting dalam menciptakan perubahan budaya. Jika influencer dengan jutaan pengikut bersedia membuat konten tentang sungai dan edukasi lingkungan, dampaknya bisa jauh lebih luas daripada seminar formal.
4. Penegakan Hukum dan Transparansi Data
Pemerintah harus tegas menindak pabrik-pabrik yang mencemari sungai. Publik juga perlu diberi akses data pencemaran agar mereka sadar akan tingkat kerusakan yang terjadi.
5. Platform Khusus Isu Lingkungan
Perlu dibuat platform digital yang secara konsisten mengangkat isu-isu lingkungan dengan pendekatan multimedia dan kolaboratif, seperti web documentary, podcast lingkungan,atau map digital kondisi sungai nasional.
Pengulas 1 (Wahyu Sari Ningsi 3101422078):
Komentar yang diberikan
Review artikel ryandra:
– Karena artikel masih dalam on progress dan belum mencapai 1000 kata, maka perlu dikembangkan lagi isinya, misalnya ditambahkan Perbandingan kasus sungai kotor di negara lain atau Usaha komunitas lokal yang berhasil mengubah wajah sungai atau paragraf lanjutan seperti membahas penyebab gagalnya narasi lingkungan menjadi viral (misalnya karena algoritma media sosial, rendahnya literasi lingkungan, dll).
– Pada sub judul pertama terdapat kalimat “apalagi jika mengingat dampaknya pada kesehatan, ekonomi, dan kehidupan sosial masyarakat.” Apa dampaknya? Bisa dijelaskan atau ditambahkan apa saja dampaknya, karena pasti memiliki dampak yang serius dan dari dampak tersebut bisa saja membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan khususnya Sungai.
– Pernyataan tentang pencemaran sungai dan dampaknya sangat relevan, namun tulisan akan jauh lebih kuat jika disertai data. Misalnya, sebutkan data pencemaran Sungai Citarum dari lembaga lingkungan hidup atau WHO untuk memperkuat argumen. Atau, pada tahun 2013, Green Cross Swizerland dan Blacksmith Institute telah membenarkan bahwa Sungai Citarum menjadi salah satu tempat tercemar dan terkotor di dunia.
– Artikel Opini seharusnya tidak hanya menunjukkan masalah, tapi juga mengarahkan pembaca pada pemikiran atau tindakan. Artikel ini belum menyajikan solusi, seperti peran komunitas, edukasi lingkungan, atau tekanan pada pemerintah.
(Komentar untuk opini saya yang saat itu masih tahap pengerjaan dan belum ada revisi).
Pengulas 2 (Fieva Hylmi Kurniawan 3101422091):
Komentar yang diberikan
Review Opini Penulisan yang terlalu panjang dapat dipersempit lagi untuk penulisan opini di kompas cukup 800-1000 kata saja
Call to Action yang Lebih Spesifik
– Opini mengajak pembaca untuk “bersuara,” tetapi bisa lebih konkret dengan menyarankan:
– Petisi online untuk mendorong kebijakan.
– Tantangan media sosial (misalnya #SayaPeduliSungai).
– Panduan langkah demi langkah untuk bergabung dengan komunitas lingkungan. (Komentar ini tertuju untuk opini saya yang telah direvisi).